TEMPO.CO, Jakarta - Hari Pers Nasional atau HPN 2024 akan diselenggarakan di Jakarta. Gelaran HPN 2024 sempat diwarnai kekhawatiran karena waktunya sangat berdekatan dengan Pesta Demokrasi berupa Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pileg), 14 Februari 2024. Tanggal 9 Februari bisa jadi adalah masa tenang menjelang pencoblosan.
"Kami mengharapkan puncak perayaan dari HPN 2024 tetap bisa dilaksanakan pada 9 Februari, seperti lazimnya," ujar Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Atal Sembiring Depari, Rabu, 16 Agustus 20023. Ia berharap eskalasi politik tidak memengaruhi penyelenggaraan HPN dengan tema "Mengawal Transisi Kepemimpinan Nasional dan Menjaga Keutuhan Bangsa"
Hari pers nasional selalu diingatkan mengenai kualitas jurnalisme, para pekerja pers. Jurnalisme yang tidak profesional atau sering disebut sebagai malpractice journalism merupakan fenomena yang merugikan dalam dunia media massa. Dikutip dari Marquette Law Review, Istilah malpractice journalism merujuk pada praktik-praktik tidak etis dalam pelaporan berita yang melibatkan berbagai bentuk kesalahan, seperti penyebaran informasi palsu, manipulasi fakta, sensasionalisme, bias, dan konflik kepentingan.
Ketika praktik-praktik semacam ini dilakukan oleh jurnalis atau media massa, dampaknya bisa sangat merugikan baik bagi publik maupun bagi kepercayaan terhadap institusi jurnalisme itu sendiri. Salah satu contoh yang paling umum dari malpractice journalism adalah penyebaran informasi palsu atau hoaks.
Ketika sebuah berita palsu disebarkan oleh media massa tanpa verifikasi atau fakta yang cukup, berita tersebut bisa memiliki dampak yang merusak pada masyarakat. Berita palsu bisa memicu ketakutan, mempengaruhi opini publik, atau bahkan memicu tindakan yang tidak bertanggung jawab dari pihak-pihak tertentu. Oleh karena itu, penting bagi jurnalis untuk melakukan pengecekan fakta yang teliti sebelum menyebarkan berita, demi menghindari penyebaran informasi palsu.
Selain itu, aspek penting dari malpractice journalism lainnya adalah sensasionalisme. Sensasionalisme juga menjadi salah satu praktik yang kerap terjadi dalam malpractice journalism. Sensasionalisme merujuk pada penggunaan judul atau narasi yang menarik perhatian secara berlebihan, sering kali tanpa mempertimbangkan keakuratan atau konteks dari berita tersebut.
Ada jua bias pemberitaan. Bias pemberitaan juga merupakan aspek penting dalam malpractice journalism. Ketika sebuah media memiliki kecenderungan untuk memihak atau memberikan sudut pandang yang bias terhadap suatu topik atau individu tertentu, hal ini dapat mengganggu integritas jurnalisme yang seharusnya netral dan objektif. Bias bisa terjadi karena alasan politik, ideologis, atau bahkan karena faktor-faktor pribadi dari jurnalis atau manajemen media tersebut.
Dan yang paling sering terjadi, konflik kepentingan. Konflik kepentingan merupakan masalah serius dalam praktik malpractice journalism. Ketika jurnalis atau media memiliki kepentingan pribadi atau finansial dalam suatu topik atau subjek yang mereka liput, objektivitas dan kebenaran informasi yang disampaikan kepada publik bisa terganggu. Konflik kepentingan bisa muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari hubungan keuangan dengan pihak-pihak yang diliput hingga keterlibatan pribadi dengan individu atau organisasi yang menjadi subjek berita.
Dalam mengatasi malpractice journalism, penting bagi media massa dan profesi jurnalistik untuk mematuhi standar etika yang ketat, seperti memastikan keakuratan informasi, membedakan antara opini dan fakta, dan menjaga kemandirian dari kepentingan eksternal. Selain itu, perlunya transparansi dalam pelaporan dan akuntabilitas atas kesalahan juga penting untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap jurnalisme yang sehat dan berintegritas.
Dewan Pers di Indonesia telah mengeluarkan pernyataan tentang praktek jurnalisme yang tidak etis. Beberapa contoh malpraktik yang disebutkan meliputi:
- Wawancara yang dilakukan dengan cara yang tidak etis.
- Klaim sepihak tentang adanya manipulasi informasi yang perlu dikonfirmasi, yang berujung pada upaya pemerasan.
- Penyalahgunaan nama "penerbitan pers" yang menimbulkan kesalahpahaman.
- Penyalahgunaan prinsip-prinsip kemerdekaan pers untuk keuntungan atau kepentingan individu.
- Penyalahgunaan kartu pers, organisasi wartawan, atau institusi pers, sejumlah individu mengidentifikasi diri sebagai "wartawan" sebagai sarana mencari keuntungan secara kurang etis.
Pilihan Editor: Malpractice Journalism dan Kode Etik Jurnalistik, Apakah Itu?