TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Koentjoro dan Rektor Universitas Islam Indonesia atau UII Fathul Wahid kompak menepis tudingan adanya politisasi di balik gerakan sivitas akademika yang mengkritik Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Sejak pekan lalu, sejumlah kampus dari berbagai daerah menyatakan keprihatinan terhadap dinamika perpolitikan nasional dan pelanggaran prinsip demokrasi menjelang pemilu 2024.
UII menjadi kampus pertama dari gelombang kritik bersama UGM, Universitas Indonesia, hingga beberapa kampus lain di Indonesia.
Lantas, apa kata Fathul dan Koentjoro soal tudingan politisasi di balik gerakan sivitas akademika? Berikut pernyataan mereka seperti dilansir dari Tempo.
Rektor UII: Kesadaran kolektif
Rektor UII Fathul Wahid menepis tudingan adanya politisasi di balik gerakan sivitas akademika kampus di Indonesia. Fathul mengatakan gelombang kritik yang muncul terhadap Presiden Jokowi tergerak oleh kesadaran kolektif sebab ada masalah dalam praktik bernegara.
“Wilayah kami pada gerakan moral,” kata Fathul saat diwawancarai Tempo via panggilan telekonferensi pada Senin malam, 5 Februari 2024. “Tidak ada konsolidasi dengan kampus lain. Kami merasa ini sudah sejauh itu kegeraman yang lama terpendam dan menunggu momentum untuk muncul.”
“Menuduh bahwa kampus, guru besar partisan itu juga ceroboh ya. Dan itu seharusnya tidak dilakukan oleh orang yang terpelajar,” kata Fahrul.
Guru Besar UGM: Logikanya berarti tidak jalan
Ketua Dewan Guru Besar UGM Prof Koentjoro menegaskan bahwa pernyataan tentang petisi Bulaksumur merupakan bayaran atau kepentingan elektoral sama sekali tidak benar. Sebab katanya, dalam Pilpres 2024 ada alumnus UGM yang lain, seperti Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.
“Itu semua alumnus UGM, jadi kalimat mana yang menunjukkan bahwa itu (Petisi Bulaksumur) kepentingan elektoral,” kata Koentjoro kepada Tempo, Senin, 5 Februari 2024.
Selanjutnya: Jokowi diingatkan dengan cara yang baik