TEMPO.CO, Jakarta - Forum Alumni Universitas Jember (Unej) untuk Perubahan menyampaikan pernyataan sikap terhadap kondisi demokrasi di Indonesia saat ini. Sekitar lima puluh alumni Unej mengungkapkan seruan moral agar para penyelenggara negara bertobat dan kembali memegang teguh nilai-nilai keadilan Pancasila.
”Kondisi bangsa kita saat ini sedang pada momen memprihatinkan. Para elit politik tak mengindahkan etika bernegara,” kata Bambang Asrini yang menjadi koordinator dalam acara tersebut di Bellevue Art Space, Cinere, Depok, Jawa Barat pada Minggu, 4 Februari 2024.
Bambang menilai, ada potensi pelanggaran konstitusi yang serius dalam pelaksanaan pemilihan umum 2024. Hal ini tercermin melalui fenomena keberpihakan penyelenggara negara dalam proses pemilihan umum (Pemilu). Menurut dia, keberpihakan tersebut telah mencederai harapan masyarakat agar pesta demokrasi dapat berlangsung secara jujur dan adil.
Lebih lanjut, tindakan itu pun dianggap telah mengabaikan hak asasi manusia dan kesejahteraan umum. Sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Tak hanya itu, sikap keberpihakan tersebut juga dinilai sebagai pengingkaran etika.
”Dengan mengandalkan hati nurani dan kewarasan berpikir dan bersikap, kami menyerukan sebuah gerakan pemurnian nasional sekaligus pertobatan penyelenggara negara,” kata Bambang.
Setidaknya ada tiga poin seruan moral yang dikemukakan oleh Forum Alumni Unej untuk Perubahan tersebut. Pertama, penyelenggara negara harus melakukan gerakan pemurnian nasional sekaligus bertobat atas nama hati nurani dalam berpikir dan bersikap. Kedua, kembali menghayati dan memanifestasikan pembukaan UUD 1945 alinea IV. Ketiga, menegakkan nilai-nilai keadilan dan seluruh sila dalam Pancasila sebagai landasan hukum tertinggi.
Pernyataan sikap alumni UNEJ itu diikuti dengan bedah buku ’Bergerak dengan Kewajaran’ karya mantan Menteri ESDM, Sudirman Said. Bedah buku itu menghadirkan pembicara mantan Konjen RI di New York Arifi Saiman, Satrio Budi Adi dari Universitas Indonesia, dan Bambang Asrini.
Arifi Saiman dalam paparannya menyatakan bahwa buku Sudirman Said relevan untuk didiskusikan dalam situasi kebangsaan saat ini. Dalam buku tersebut, Sudirman Said menggagas sebuah ekosistem integritas dimana masyarakat yang hidup dalam lingkungan tersebut akan merasa malu hati apabila melakukan tindakan-tindakan yang melanggar etika.
”Sudirman Said mengingatkan agar para pemimpin memahami batas-batas kekuasaan sehingga tidak terperangkap pada tiga jebakan, yaitu jebakan popularitas yang membuat lupa diri, jebakan korupsi karena kebutuhan membiayai ongkos politik, serta jebakan penyalahgunaan kekuasaan,” tuturnya.
Di sisi lain, Satrio Budi Adi mengatakan bahwa buku ’Bergerak dengan Kewajaran’ mengingatkan publik bahwa rasa cinta tertinggi para penyelenggara negara seharusnya diberikan kepada lembaga ’nation state’, bukan pada pemerintahan yang sifatnya hanya sementara.
”Kecintaan pada negara itulah yang membuat para pejabat publik atau penyelenggara negara tidak takut bersuara dan berbeda pendapat. Perbedaan pendapat merupakan tanda adanya ide atau gagasan yang sedang bergulir dan karena itu, kekuasaan semestinya tidak anti kritik,” jelas Satrio.
Sedangkan Sudirman Said mengatakan saat ini muncul berbagai gerakan dari para akademisi dan berbagai perguruan tinggi yang menyatakan keprihatinan terhadap kondisi politik dan demokrasi di Indonesia. Hal itu, kata Sudirman Said, menandakan bahwa Indonesia masih memiliki masyarakat akademik yang sehat, yang berani bersikap dan mengoreksi ketika terjadi penyimpangan dalam pengelolaan negara. ”Keberanian itu menyelamatkan bangsa kita dan menjadi energi segar bagi kekuatan moral yang mendambakan perubahan menuju situasi yang lebih baik,” tandasnya.
Pilihan Editor: Sederet Menteri-Wakil Menteri Jokowi yang Aktif Kampanye Dukung Prabowo-Gibran, dari Luhut hingga Bahlil