TEMPO.CO, Jakarta - Sebelas kepala daerah ajukan judicial review terhadap ketentuan Pasal 201 Ayat (7),(8) dan (9) Undang-Undang Pilkada Mahkamah Konstitusi (MK). Ke-sebelas kepala daerah ini adalah Gubernur Sumatera Barat (Sumbar), Wali Kota Bukittinggi, Gubernur Jambi, Bupati Kabupaten Pesisir Barat, Bupati Malaka, Bupati Kebumen, Bupati Malang, Bupati Nunukan, Bupati Rokan Hulu, Wali Kota Makassar, dan Wali Kota Bontang.
Dilansir dari laman Langgam.id mitra Teras.id, penggugatan UU Pilkada oleh sejumlah kepala daerah ini diwakilkan oleh Visi Law Office yang diketuai Donal Fariz sebagai koordinator tim hukum, serta diikuti oleh Febri Diansyah dan Rasamala Aritonang sebagai kuasa hukumnya.
Donal Fariz mengemukakan bahwa terkait permintaan pengujian ulang pasal-pasal tersebut erat kaitannya dengan desain keserentakan Pilkada 2024. Menurutnya keserentakan ini mengundang berbagai masalah dan bertentangan dengan konstitusi. Salah satu dampaknya yakni terpangkasnya masa jabatan para kepala daerah secara signifikan serta merugikan sejumlah 270 kepala daerah.
“Secara persentase, jumlah kepala daerah yang dirugikan tersebut mencapai setengah dari jumlah total 546 kepala daerah di seluruh Indonesia atau 49,5 persen dari 546 kepala daerah,” jelasnya.
Donal juga mengatakan bahwa kesebelas kepala daerah tersebut mewakili kepentingan dari 270 kepala daerah yang terdampak tadi. Atas judicial review yang diajukan ini, setidaknya terdapat tujuh persoalan atau argumentasi hukum yang diajukan oleh Visi Law Office, sebagai berikut.
1. Tidak terdapat perdebatan teknis dan substansial dalam pembahasan jadwal pilkada serentak nasional tahun 2024
2. Penjadwalan penyelenggaraan Pilkada November 2024 tanpa mempertimbangkan risiko dan implikasi teknis
3. Tujuan keserentakan Pemilu untuk efisiensi anggaran tidak terlaksana
4. Penentuan jadwal Pilkada serentak nasional 2024 merugikan sebanyak 270 kepala daerah hasil Pilkada 2020
5. Keserentakan pilpres, pileg, pilkada membuat potensi korupsi lebih tinggi
6. Keserentakan Pemilu juga membuat potensi gangguan keamanan dan ketertiban menjadi besar
7. Adanya potensi penumpukan perkara hasil sengketa pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi
Seluruh argumentasi ini telah dijelaskan secara detail dalam permohonan. Para pemohon meminta agar MK bisa membagi keserentakan Pilkada nasional pada 546 daerah otonomi menjadi dua gelombang. Dimana pelaksanaan gelombang pertama pada November 2024 sebanyak 276 daerah dan selanjutnya gelombang kedua sebanyak 270 daerah pada Desember 2025. Teknis ini menjadi jalan tengah agar pilkada tidak mengundang semakin banyak kerugian.
Apa itu Judicial Review?
Mengutip dari Jurnal Legislasi Indonesia, judicial review seringkali dipahami sebagai upaya pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh badan peradilan. Pengadilan atau Mahkamah Konstitusi atau MK akan meninjau keabsahan suatu tindakan, undang-undang, atau keputusan yang diambil oleh badan pemerintahan.
Dalam konteks hukum konstitusi, judicial review ini memberikan kekuasaan kepada pengadilan untuk bisa menilai apakah tindakan pemerintah atau undang-undang yang diberlakukan sesuai dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam konstitusi negara.
Proses judicial review ini biasanya diawali dengan pengajuan gugatan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan atau undang-undang yang mereka anggap tidak sesuai konstitusi. Selanjutnya pengadilan akan mengadakan persidangan untuk mendengarkan argumen dari kedua belah pihak.
Baru akhirnya keputusan apakah tindakan atau undang-undang tersebut sesuai konstitusi atau tidak akan diambil. Keputusan pengadilan dalam proses judicial review memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan dapat mengubah tindakan atau undang-undang yang dipertanyakan jika dinyatakan tidak sesuai dengan konstitusi.
Pilihan Editor: 11 Kepala Daerah Ajukan Uji Materi ke MK, Merasa Dirugikan atas Desain Pilkada Serentak 2024