TEMPO.CO, Jakarta - Aksi Kamisan kemarin telah dilaksanakan tanpa henti 17 tahun lamanya. Mereka berpakaian dan berpayung hitam berdiri di depan Istana Negara menuntut penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang telah dimulai sejak pukul 15.00 WIB, pada Kamis 18 Januari 2024.
Ratusan orang berdiri menghadap Istana Negara, kantor Presiden Jokowi selama 30 menit menggelar aksi diam. Sebagian menutup mata sambil memegang payung hitam. Sebagian yang lain berdiri di baris terdepan membawa papan berisi ringkasan peristiwa pelanggaran HAM masa lalu, seperti Tragedi Tanjung Priok (1989), Tragedi Mei (1998), dan penghilangan orang secara paksa (1997-1998).
Selain itu, Aksi Kamisan tersebut juga menunjukkan foto tokoh-tokoh yang terduga melakukan pelanggaran HAM berat. Salah satunya adalah Prabowo Subianto yang sedang mencalonkan diri sebagai capres 2024.
Peringatan ini juga dihadiri oleh perwakilan organisasi, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan ICJR, Amnesty, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Ada juga keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu itu. Salah satunya adalah Maria Catarina Sumarsih yang sekaligus menjadi pelopor Aksi Kamisan.
Perempuan yang akrab dipanggil Sumarsih ini kembali memberikan tuntutan kepada Presiden Jokowi untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Pasalnya, pelanggaran HAM berat tersebut juga menewaskan anak laki-lakinya dalam kasus Semanggi I 1998. Bahkan, Sumarsih juga menyebut Prabowo sebagai penjahat kemanusiaan lantaran menjadi dalang dari pelanggaran HAM berat masa lalu.
Aktivis HAM Sumarsih berorasi saat aksi Kamisan ke-600 di Jakarta, Kamis 5 September 2019. Dalam aksinya mereka menuntut segera diselenggarakannya pengadilan HAM di Indonesia. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Berdasarkan komnasham.go.id, Sumarsih adalah ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan. Laki-laki yang akrab disapa Wawan ini merupakan mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta. Ia merupakan satu dari 17 korban tragedi Semanggi I.
Sampai sekarang, Sumarsih masih menuntut keadilan atas hilangnya nyawa sang buah hati. Akibatnya, ia menjadi penggerak untuk mengadakan Aksi Kamisan agar mendapatkan keadilan dari presiden. Ia masih terus berjuang mendorong pemerintah menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu. Menurutnya, demokrasi di Indonesia dapat dikatakan berjalan baik, jika pelanggaran HAM berat telah terselesaikan dengan tuntas.
Meskipun telah menginjak usia senja, tetapi Sumarsih masih ingat ketika Wawan tertembak oleh peluru tepat di dadanya pada 13 November 1998. Lubang peluru tersebut tampak sebesar tutup pulpen. Saat itu, Wawan bersama Tim Relawan untuk Kemanusiaan membantu mahasiswa yang tewas dan terluka akibat melakukan aksi menolak Sidang Istimewa MPR. Sang anak menghembuskan napas terakhir di sela-sela aktivitas kemanusiaannya di halaman Universitas Atmajaya.
Berkat perjuangan membela keadilan untuk menguak pelanggaran HAM berat, Sumarsih mendapatkan penghargaan Yap Thiam Hien Award 2004 di Musem Nasional, Jakarta. Menurut Ketua Dewan Juri Yap Thiam Hien Award, Asmara Nababan, Sumarsih dinilai layak menerima penghargaan lantaran menjadi sosok yang berhasil mengatasi kesedihan menjadi kesadaran terkait nilai kemanusiaan.
“Penghargaan ini memberi semangat bagi kami untuk terus memperjuangkan HAM,” ujar Sumarsih pada 10 Desember 2004.
Sumarsih mengaku tidak pantas menerima penghargaan tersebut sehingga diberikan untuk Wawan, anaknya. Sumarsih menegaskan akan tetap berjuang agar pelaku penembakan anaknya dibawa ke pengadilan. Sebagai bagian dari pejuangannya, Sumarsih bersama keluarga korban tidak pernah absen Aksi Kamisan.
RACHEL FARAHDIBA R | NOVALI PANJI NUGROHO | ABDUL MANAN
Pilihan Editor: Ratusan Orang Peringati 17 Tahun Aksi Kamisan di Depan Istana Presiden