INFO NASIONAL – Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) memberikan pemahaman dan sosialisasi kepada masyarakat di sekitar area gambut dan mangrove. Hal itu dilakukan, agar masyarakat juga ikut serta menjaga ekosistem gambut dan mangrove. Untuk gambut misalnya, masyarakat diharapkan dapat menjaga lahan dari kebakaran.
“Kita melakukan sosialisasi untuk memberikan pemahaman kepada mereka, bahwa gambut itu harus dikelola dengan hati-hati, karena kalau serampangan, terjadi kebakaran dan di beberapa tempat lahan yang dibuka menjadi tidak produktif,” kata Kepala BRGM Hartono Prawiraatmadja, belum lama ini.
Presiden Joko Widodo sebelumnya meminta agar kebakaran di lahan gambut yang kerap berulang bisa dikurangi atau bahkan dicegah. Oleh karena itu, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat merupakan hal yang perlu dilakukan.
Masyarakat diharapkan ikut serta dalam menjaga kelembapan gambut. “Diajari juga agar tidak menggunakan api ketika persiapan lahan.”
Selama ini, lanjut Hartono, pembukaan lahan dengan api dianggap murah dan memberikan dampak positif terhadap tanaman. “Aslinya lahan asam, begitu dibakar terdapat mineral dan dia akan naik, tanpa harus menebar kapur dan segala macam. Sekarang karena penggunaan api dibatasi, bahkan bisa dipidanakan kalau konsesi.”
Hartono menuturkan, semua desa yang wilayahnya menjadi target restorasi BRGM, difasilitasi dengan Desa Mandiri Peduli Gambut (DMPG). Kegiatannya mulai dari sosialisasi, pemetaan potensi desa. Kemudian, diidentifikasi keperluan apa saja yang dibutuhkan agar masyarakat yang sudah teredukasi itu bisa melakukan pengolahan gambut secara benar.
“Kita buat sekolah lapang. Untuk sementara ini beberapa desa kita minta beberapa wakil untuk melakukan praktek pengelolaan lahan gambut yang benar. Setelah itu kader masing masing desa kita fasilitasi sehingga mereka bisa praktek di desanya. Ini dari teknis pengelolaan gambutnya. Nanti ada pengembangan usahanya.”
Menurut Hartono peran BRGM untuk memfasilitasinya itu. Dan peran itu, telah dilakukan sejak badan masih berupa Badan Restorasi Gambut (BRG). “Sudah ada pendanaan khusus bantuan dari pemerintah Norwegia yang dilaksanakan kemitraan, dan mereka bantu BRG. Sampai BRG selesai dan berlanjut menjadi BRGM, kita lanjutkan dengan dana APBN meskipun tidak selonggar seperti dulu, tetapi oke, kita telah dibantu lebih dari 200 desa oleh teman-teman kemitraan.”
Hartono mengakui, BRGM merupakan badan yang Ad hoc, tidak didesain untuk selamanya. “Asumsinya itu peran BRGM harus semakin berkurang ketika masyarakatnya sudah bisa.”
Saat ini, lanjut dia, peran BRGM masih dibutuhkan untuk penguatan DMPG. “Kalau kita lihat DMPGnya ada kelas-kelasnya 1 sampai 5, kebanyakan masih di kelas 2. Masih butuh penguatan terus sampai mereka benar-benar mampu mengambil alih tugas pengelolaan dan pengawasan gambut yang dikelola oleh para konsorsium.”
Peralihan dari yang dikerjakan BRGM ke desa-desa itu, kata Hartono, memerlukan waktu serta program berkesinambungan. “Seperti halnya Desa Membangun dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, tidak sekali sentuh langsung jadi. Apalagi DMPG merupakan bagian dari Desa Membangun. Jika indikator DMPG tercapai 100 persen maka dia berkontribusi sepertiga dari desa Membagun Kemendesa yang memang holistic dengan Sustainable Development Goals (SDGs)-nya. Karena dari aspek lingkungan kita berkontribusi.”
Diakui Suwarno, Ketua Kelompok Tani Perintis Jaya, Desa Pandan Sejahtera, Kecamatan Geragai, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, kehadiran BRGM sangat tepat diturunkan ke masyarakat yang tinggal di daerah gambut. “Kami sudah berkali-kali menyuarakan, tolong BGRM jangan dihapus, kalau perlu dilanjutkan. Karena masih banyak masyarakat yang membutuhkan SDM-SDM seperti itu,” ujar dia.
Dia pun mengingat, sebelum BRGM hadir, masyarakat di Desa Pandan Sejahtera yang baru terbentuk di sekitar tahun 2000-an mulai memilih menanam sawit di tahun itu. “Di tahun 2013, karena memiliki dataran rendah, kami mencoba tidak menanam sawit, kelompok kami kita arahkan untuk menanam Kebun Rakyat, jadi kami menanam Jelutung dan jagung.
Masyarakat, kata Suwarno, menyadari bahwa sawit merupakan salah satu tanaman yang boros dengan air. Sehingga menurut mereka yang membuat gambut menjadi kering adalah sawit. “Kita mencoba menanam pohon yang bisa menjaga kelembapan atau setidaknya menimbulkan air,” ujar dia.
Namun, dikarenakan tata kelola air belum tertata dengan bagus sehingga tahun 2015 lahan mereka pun ikut dilalap api yang saat itu melanda Wilayah Jambi. “Tanaman kebun rakyat kita hampir 95 persen hangus terbakar. Ada sekitar 1000-an hektare terbakar,” kenang dia.
Kebakaran tersebut menurut Suwarno tidak bisa dipadamkan karena masyarakat kesulitan dengan air. Ragam upaya pun dilakukan. Mereka pernah berupaya membuat bendungan, harapannya jika musim hujan, air bisa terkumpul. “Dalam waktu berbulan-bulan kami mencoba memadamkan api, tetapi sulit. Akhirnya kami mencoba membuat sumur bor untuk pemadaman api. Tiap anggota menyediakan 20 liter air untuk dimasukkan ke dalam sumur bor.”
Di tahun 2017, Mitra Aksi yang kerap membantu penanganan gambut di wilayahnya memperkenalkan dengan BRG. “Programnya bagus selain pembuatan sumur bor juga sekat kanal. BRGM tujuannya untuk penyelamatan lingkungan, jadi kami dukung.”
Dia pun mengistilahkan, saat ini, desanya dapat menikmati udara segar meskipun terancam kemarau yang panjang. “Kebakaran bisa tetap terjadi, namun saat ini kami memiliki simpanan air yang banyak untuk mengantisipasinya. Apalagi melembapkan lahan dengan sekat kanal sangat bermanfaat.”
Sumur bor dan sekat kanal dirawat dan jaga oleh masyarakat. “Karena kita sadar itu untuk kebutuhan masyarakat juga. tanpa ada suruhan dari pemerintah pun pasti kita jaga karena untuk kebaikan masyarakat.”
Suwarno mengatakan, yang paling membuat berkesan dari BRGM adalah BRGM juga memikirkan perut masyarakat. “Kami dibantu dari sisi perekonomian. Kami ditanyakan, kira-kira kebutuhan masyarakat apa untuk menunjang ekonomi. Setelah kami rapat, kelompok anggota, masyarakat meminta ternak.”
Dengan ternak, lanjut Suwarno, gambut yang terbakar sehingga unsur haranya habis, mengalami tandus, maka untuk menyuburkan itu membutuhkan kotoran ternak. “Itu keuntungan kita. Selain itu, kalau kita berternak, nggak mungkin lahan itu dikeringkan, tetapi justru dihijaukan untuk kebutuhan ternak.”
BRGM pun memberikan modal awal 10 ekor, tahun 2020 ditambah menjadi 20 ekor. “Saat ini, populasi ternak menjadi 94 ekor sapi. Anak beranak sudah dibagikan kepada masyarakat. Untuk peningkatan ekonomi. Mau untuk sekolah, silahkan, dan lain sebagainya.”
Suwarno pun masih memiliki cita-cita ingin mempunyai ternak sapi penggemukan untuk memenuhi kebutuhan pasokan daging di Jambi. “Melalui BRGM, kami dipertemukan oleh Ketua Asosiasi Daging ternak sapi di Jambi, ternyata kebutuhan daging sapi cukup tinggi. Saat ini masih impor dari Australia. Makanya dikembangbiakan dulu baru nanti penggemukan. Karena potensinya banyak.”
Dia pun berharap, kehadiran BRGM tetap dipertahankan untuk memberikan kemudahan-kemudahan dan edukasi kepada masyarakat desa. Bersama BRGM, masyarakat pun dapat bersama-sama menjaga lahan gambut. (*)