TEMPO.CO, Jakarta - Hari Antikorupsi Sedunia diperingati setiap 9 Desember. Peringatan hari Antikorupsi dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan antikorupsi secara global. Peringatan tersebut diajukan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memerangi korupsi karena korupsi dinilai merusak institusi dan nilai-nilai demokrasi, etika, serta keadilan.
Selain PBB, terdapat beberapa lembaga dunia lain yang juga memerangi korupsi. Dilansir dari aclc.kpk.go.id, lembaga Transparency International dikenal sebagai lembaga non-pemerintah internasional yang memerangi korupsi dengan kerap mempublikasi laporan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) setiap negara di dunia.
Laporan itu mengurutkan 180 negara di dunia berdasarkan persepsi masyarakat mengenai korupsi yang terjadi pada jabatan publik dan politik. Negara yang mendapatkan Indeks Persepsi Korupsi semakin tinggi seperti 100 berarti persepsi korupsi sebuah negara rendah. Sementara semakin kecil sampai 0, berarti persepsi korupsi di negara itu tinggi.
Lantas, berapa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi periode kedua dari 2019 sampai 2022? Berikut Indeks Persepsi Korupsi Indonesia berdasarkan laporan Transparency International.
- Pada 2019, Indonesia mendapatkan 40 poin dan bertengger di posisi 85 dari 180 negara.
- Pada 2020, Indonesia mengalami penurunan 3 poin dari 40 menjadi 37 poin dan turun dari posisi 85 ke 102 dari 180 negara.
- Pada 2021, Indonesia mengalami kenaikan satu poin dari 2020 menjadi 38 poin. Posisinya berada di 96 dari 180 negara.
- Pada 2022, Indonesia mengalami penurunan empat poin menjadi 34 poin. Posisi Indonesia turun drastis dari 96 ke posisi 110 dari 180 negara.
Menurut Deputi Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko, angka Indeks Persepsi Korupsi pada 2022 menjadi penurunan paling drastis sejak 1995. "CPI (Corruption Perception Index) Indonesia pada 2022 berada pada skor 34 dari skala 100 dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun empat poin dari tahun 2021 dan merupakan penurunan paling drastis sejak 1995," kata Wawan sebagaimana dilansir dari Antara.
Menurut Wawan dikutip dari laman transperenci.org, penurunan tersebut disebabkan oleh tiga faktor utama. Sebagai berikut.
- Political Risk Service (PRS) International Country Risk Guide mengalami penurunan dari 48 menjadi 35 pada tahun 2021, mencakup korupsi dalam sistem politik, pembayaran khusus, suap ekspor impor, dan hubungan mencurigakan antara politikus dan pebisnis.
- IMD World Competitiveness Yearbook turun lima poin dari 44 menjadi 39, membahas suap dan korupsi dalam sistem politik.
- Indeks Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide juga turun menjadi 29 dari 32.
"Jenis korupsi suap, gratifikasi hingga konflik kepentingan antara politisi, pejabat publik dan pelaku usaha masih lazim terjadi. Pelaku usaha yang datang ke Indonesia bukan hanya memiliki risiko berbentuk untung rugi, tapi juga risiko politik," ujar Wawan.
Selanjutnya, indikator penegakan hukum menunjukkan bahwa kebijakan antikorupsi belum efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi. Praktik korupsi masih ditemukan di lembaga penegakan hukum, menunjukkan ketidakefektifan kebijakan tersebut pada 2022.
Pilihan Editor: Indeks Persepsi Korupsi Memburuk, Indonesia Berada di Posisi 110 dari 180 Negara