TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, menanggapi intimidasi aparat kepolisian terhadap seniman senior Butet Kartaredjasa yang menampilkan teater bermuatan satir politik di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Teater berjudul Musuh Bebuyutan itu dipentaskan pada 1 dan 2 Desember 2023.
Hasto menyayangkan ada intimidatif kepolisian terhadap ekspresi politik kebudayaan. Menurut Hasto, kebudayaan itu sarana kritik dan otokritik.
"Kami sangat menyayangkan hal-hal larangan seperti itu seharusnya tidak perlu dilakukan," kata dia, Rabu. 6 Desember 2023.
Upaya intimidatif ini, menurut Hasto Kristiyanto, adalah suatu reaksi berlebihan karena kepolisian mencampuri urusan ranah kebudayaan.
"Yang seharusnya tidak perlu," kata dia.
Hasto pun menilai tindakan intimidatif ini mengkonfirmasi hadirnya Neo Orde Baru. "Memperkuat apa yang disampaikan masyarakat," kata dia.
Kronologi kejadian
Penulis dan direktur artistik dalam pagelaran teater Musuh Bebuyutan, Agus Noor, menceritakan pihaknya mendapatkan intimidasi dari aparat kepolisian pada sore hari sebelum pertunjukan berlangsung. Sejumlah petugas Kepolisian Sektor Cikini, menurut dia, tiba-tiba datang dan meminta penyelenggara membuat surat pernyataan yang isinya tidak menampilkan pertunjukan yang mengandung unsur politik.
Ia pun menandatangani surat tersebut. “Bagi kami itu intimidasi,” kata Agus Noor saat dihubungi, Senin, 4 Desember 2023.
Surat tersebut juga mencantumkan komitmen penanggungjawab pertunjukan untuk tidak ada kampanye pemilu, menyebarkan bahan kampanye pemilu, menggunakan atribut partai politik, menggunakan atribut pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, dan kegiatan politik lainnya. Butet Kartaredjasa yang menjadi pemeran utama dalam teater itu pun sempat menunjukkan surat pernyataan bermeterai tersebut kepada Tempo.
Setelah menandatangani surat itu, panitia tetap menggelar pertunjukan teater berjudul Musuh Bebuyutan dalam durasi 150 menit.
Agus Noor menyayangkan intimidasi itu yang serupa dengan situasi saat Orde Baru. Intimidasi itu baru pertama kali setelah Indonesia Kita selama 41 kali.
“Kami seperti dejavu, persis Orde Baru,” kata dia.
Agus menduga intimidasi itu terjadi karena di sana ada kehadiran calon wakil presiden, Mahfud Md. Menurut Agus kehadiran Mahfud dalam acara itu sama seperti penonton lainnya atau bukan undangan khusus. Mahfud yang sering menonton pentas Indonesia Kita datang 15 menit setelah pertujukan dimulai.
“Kami tidak beri panggung untuk Pak Mahfud,” ujar Agus.