TEMPO.CO, Jakarta - Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Masinton Pasaribu, mengatakan prediksi tiga skenario melanggengkan kekuasaan pada Juni 2022 terjadi hari ini. Skenario presiden tiga periode, penundaan pemilihan umum, dan skenario yang menciptakan calon yang bisa diatur oligarki.
"Dan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) mengkonfirmasi itu. Mengkonfirmasi apa yang saya sampaikan Juni 2022," kata kata Masinton dalam diskusi Total Politik di Jalan Warung Jati Timur Raya, Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, Ahad, 29 Oktober 2023.
Penjelasan Masinton itu merujuk pada putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan ini mengatur batas minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden 40 tahun dengan tambahan frasa "pernah menjabat kepala daerah. Keputusan itu dianggap memberi jalan terang kepada putra sulung Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Gibran Rakabuming, dicalonkan sebagai cawapres pasangan Prabowo Subianto.
Proses putusan itu pun dianggap melanggar kode etik. Sebab terjadi konflik kepentingan yang menyeret Ketua MK Anwar Usman. Anwar adalah paman Gibran, Wali Kota Surakarta. Dugaan pelanggaran etik itu menyeret Anwar harus diperiksa Majelis Kehormatan Mahkamah Konsititusi atau MKMK.
Menyinggung perpanjangan isu jabatan presiden tiga periode yang sebelumnya digaungkan, Masinton menganggap itu tidak sejalan dengan konstitusi. Undang-undang mengatur jabatan presiden hanya boleh dipanggul dua periode.
"Kita sudah sepakat bahwa konstitusi kita dua periode, boleh diubah? Boleh. Dengan kesepakatan bersama. Bukan atas kepentingan orang per orang," ujar Masinton. Menurut dia, pembatasan jabatan presiden dua periode merupakan koreksi atas perjalanan bangsa sejak Indonesia merdeka.
Sebab itu, Masinton mengatakan, maka tiga hal yang diramal sejak Juni 2022, dan muncul putusan MK tersebut dianggap sebagai keputusan yang melanggar undang-undang. "Saya membacanya adalah putusan inkonstitusionalitas," tutur dia.
Menurut dia, putusan MK yang dianggap memberikan jalan Gibran, yang kini diusung Partai Golkar sebagai cawapres Prabowo, tidak berbasis pada pertimbangan konstitusi lagi. "Itu tadi, persoalan nepotisme," ujarnya. "Saya tidak membicarakan ini persoalan dinasti atau apa. Tapi nepotisme."
Nepotisme itu, dia mengatakan, adalah suatu tindakan yang tentang di masa Reformasi 1998. Reformasi itu melahirkan aturan yang mengatur soal korupsi, kolusi, dan nepotisme atau KKN. Dia menegaskan, adanya putusan tersebut memperlihatkan situasi buruk terhadap demokrasi.
"Kita harus melawan cara-cara inkonstitusionalitas. Kalau ini diselenggarakan dengan memaksakan tangan-tangan kekuasaan tadi, apa artinya demokrasi? Apa artinya pemilu?" tutur dia.
Salah satu cara mengalahkan campur tangan kekuasaan dalam konstitusi, Masinton berujar, gerakan ekstra-konstitusional. Menurut dia, publik harus menjaga dan mengawal proses demokrasi ini melalui pemilu. Pemilu bukan sekadar proses menang-kalah.
Namun pemilihan adalah proses menjalankan konstitusi yang di dalamnya sudah disepakati proses pengelolaan bangsa dan negara. "Jadi ini urusan tentang penolakan rakyat. Bukan kedaulatan keluarga," ucap anggota Dewan Perwakilan Rakyat, itu.
Pilihan Editor: Kunker di Banyumas Sebagai Menhan, Prabowo: Di Sini Saya Tidak Boleh Kampaye