TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi atau MK belakangan ini jadi sorotan setelah mengabulkan gugatan batas usia capres-cawapres. Putusan itu membuat anak Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, bisa maju sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto.
Putusan MK tersebut dinilai kontroversial karena sarat konflik kepentingan. Sebab, Ketua MK Anwar Usman, yang ikut mengabulkan gugatan tersebut, adalah ipar Presiden Joko Widodo.
Sejarah MK
MK didirikan berdasarkan usulan dan konsep yang diadopsi dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 2001.
Amandemen tersebut terdapat dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 November 2001. Pembentukan MK merupakan salah satu kemajuan dalam pemikiran hukum dan sistem kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.
Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945 disahkan, MPR menetapkan bahwa Mahkamah Agung (MA) akan menjalankan fungsi MK secara sementara, sesuai dengan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.
Kemudian, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah menggagas Rancangan Undang-Undang yang berhubungan dengan pembentukan Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan yang mendalam, DPR dan Pemerintah menyepakati UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003. UU ini kemudian disahkan Presiden Megawati Soekarnoputri pada hari yang sama.
Pada 15 Agustus 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 untuk mengangkat hakim konstitusi pertama. Pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi dilakukan di Istana Negara pada 16 Agustus 2003.
Ketua MK pertama adalah Jimly Asshidiqie. Dia dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai salah satu hakim konstitusi generasi pertama pada 15 Agustus 2003 dan secara resmi menjabat sebagai Ketua MK pada tanggal 19 Agustus 2003.
Selanjutnya, perjalanan MK mencakup pelimpahan perkara dari MA ke MK pada 15 Oktober 2003, yang menandai dimulainya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman sesuai dengan ketentuan UUD 1945.
Dilansir dari situs Mahkamah Konstitusi, MK memiliki empat kewenangan sebagai berikut.
1. Menguji (judicial review) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945
Kewenangan yang sangat penting adalah pengujian konstitusionalitas undang-undang. MK dapat menguji apakah suatu undang-undang sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Pengujian ini dapat dilakukan secara materiil (mengenai materi undang-undang) atau formil (proses pembentukan undang-undang).
Pengujian ini membantu menjaga kepatuhan hukum terhadap konstitusi. Meskipun awalnya ide pengujian undang-undang dipertimbangkan dan ditolak, seiring perubahan dalam paradigma konstitusi, pengujian undang-undang kini dianggap penting dan sah dalam sistem hukum Indonesia.
2. Memutuskan pembubaran partai politik.
Proses pembubaran partai politik harus melalui mekanisme peradilan konstitusi, dan yang berwenang untuk memutuskan ini adalah MK. Pemerintah memiliki hak "standing" untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik, dan MK akan memeriksa bukti-bukti yang diajukan.
3. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
Hak MK untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum berdasarkan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Dari situ MK memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan yang muncul terkait hasil pemilihan umum.
Perselisihan ini dapat melibatkan peserta pemilihan umum (termasuk pasangan calon presiden/wakil presiden, partai politik, atau calon anggota Dewan Perwakilan Daerah) dan penyelenggara pemilihan umum, seperti Komisi Pemilihan Umum. MK akan memeriksa perhitungan suara yang berpengaruh pada perolehan kursi dan dapat memutuskan perolehan suara yang benar.
4. Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh presiden dan wakil presiden menurut UUD
MK memegang kewajiban untuk memutuskan apakah presiden atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum yang mencakup pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, atau tindak pidana berat lainnya.
MK juga menilai apakah presiden atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai pejabat tersebut. Putusan MK dalam hal ini bersifat final dan mengikat, dan ini membantu memastikan bahwa proses ini berjalan sesuai dengan ketentuan konstitusi.
Pilihan Editor: Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres Dinilai Serampangan