TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur mengatakan kriminalisasi berupa pelaporan pidana dan perdata, serta serangan fisik secara langsung kepada masyarakat Indonesia dan demokrasi. Kasus serupa kini menyasar akademisi dan pengamat politik Rocky Gerung.
Menurut Isnur, serangan terhadap Rocky Gerung merupakan ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan serangan terhadap akal sehat. "Ketika ada killing the massenger, upaya membungkam Rocky, suara masyarakat, dengan membunuh ekspresi itu terjadi di semua isu," kata Isnur dalam konferensi pers di kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 24 Oktober 2023.
Tindakan persekusi itu kini menyasar mahasiswa, dosen, aktivis, jurnalis. Penyerangan kepada Rocky Gerung itu berlangsung dengan modus serupa. Menurut dia, ketika menyuarakan ekspresi tentang suatu keadaan, kebijakan pemerintah, orang itu dibalas tindakan represif. Dilaporkan menggunakan pasal keonaran. "Modusnya penerapan pasal-pasal karet," tutur Isnur.
Akademisi Rocky Gerung dikabarkan dilaporkan dengan 30 laporan perdata dan pidana. Laporan pidana tengah ditangani Badan Reserse Kriminal Umum Mabes Polri. Kini kasus Rocky di Mabes Polri dinaikkan ke tahap penyidikan.
Yang dimaksud Isnur dengan pasal karet adalah Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dua pasal tersebut mengatur tentang pelaku penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran.
Direktur Lokataru Nurkholis Hidayat, mengatakan pasal keonaran tidak bisa diberlakukan kepada Rocky Gerung. Jika polisi memaksa menggunakan pasal tersebut, maka itu sebuah tindakan persekusi. Seharusnya, kata dia, penyidik mencari pelaku pendorong laporan itu yang tidak beritikad baik.
"Dia seharusnya dicari karena menghasut menggunakan upaya hukum untuk melakukan tindakan hukum," ujar Nurkholis, kuasa hukum Rocky dari lembaga advokasi dan pembelaan hukum dan HAM, itu. "Kita sebut ini sebagai judicial harasment.
Nurkholis menjelaskan, peningkatan status penyelidikan ke penyidikan kasus Rocky sangat disayangkan. Sebab, kasus Rocky tidak memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke penyidikan. Menurut dia, definisi pasal keonaran yang dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15 dan diubah dalam KUHP baru terdapat kualisifikasi perihal kerusuhan.
Kerusuhan yang dijelaskan dalam KUHP baru, dia berujar, harus menimbulkan kekerasan dengan korban terhadap orang, benda, dan itu melibatkan minimal tiga orang korban. "Kalau kita pakai tafsir futuristik atau transisional proses ini, sambil menunggu berlakunya KUHP baru, seharusnya kasus ini tidak menggunakan pasal keonaran terhadap Rocky," ujar dia.
Pasal keonaran, menurut Nurkholis, tidak relevan. Pasal itu hanya digunakan secara semena-mena sebagai alat represi. Mencari kambing hitam terhadap orang-orang yang meyangkan kritik terhadap otoritas dan pejabat. "Jadi karena pasal itu bermasalah, seharusnya kasusnya dihentikan," ucap Nurcholis.
Nurkholis dan Isnur tergabung dalam tim Advokasi untuk Demokrasi atau TAUD yang merespons kasus Rocky. Ada juga Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar;Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Feri Amsari; serta Harmuddin dari Integrity Law Firm, sekaligus kuasa hukum Rocky Gerung.
Pilihan Editor: Rocky Gerung: Saya Tidak Menghina Jokowi Sebagai Individu