Independensi MK
Setelah Arsul Sani terpilih, pertanyaan soal independensi Mahkaah Konstitusi menyeruak. Pakar hukum tata negara Refly Harun pun pesimistis bahwa MK akan menjadi lembaga yang kredibel dan independen.
Orang yang direkrut, kata Refly, baik jalur DPR, Mahkamah Agung, atau presiden, tidak menunjukkan independensi. “Lembaga reformasi yang tidak menunjukkan semangat reformasi,” kata Refly saat dihubungi, Ahad, 8 Oktober kemarin.
Refly Harun sejak awal sudah mengingatkan bahwa hakim Mahkamah Konstitusi harus diisi oleh orang yang tidak berpotensi memiliki konflik kepentingan. Selain Arsul Sani, Refly melihat Ketua MK Anwar Usman potensial memiliki konflik kepentingan.
Dalam konteks Ketua Hakim MK, Anwar Usman, kata Refly, sejak awal dirinya meminta dia mundur. Apalagi, ketika Ketua Hakim MK ke-6 itu resmi menikah dengan adik Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Idayati.
“Sejak awal saya minta ketua MK mundur,” kata Refly.
Gugatan terhadap UU yang ditangani MK, kata Refly, salah satu pihak yang berkepentingan adalah presiden. Dalam konflik kepentingan yang Refly maksud adalah kakak dari istrinya, yaitu Presiden Jokowi.
Oleh karena itu, dia menilai tidak mungkin MK independen terhadap UU yang di situ ada kepentingan istana yang besar. Termasuk, sebut Refly, Omnibus Law dan gugatan usia calon wakil presiden yang sekarang sedang ditangani MK.
Refly menilai independensi pada MK tidak diletakkan pada konflik terhadap sebuah UU yang akan diuji. Dalam kasus MK, Refly menggunakan parameter putusan terhadap presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden.
Ambang batas ini merupakan aturan terkait pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Pemilu yang wajib memiliki syarat minimal 20 persen perolehan suara atau persentase kursi di DPR untuk bisa mengajukan diri sebagai calon presiden atau calon wakil presiden.
Dari sembilan hakim MK, Refly menyebut hanya ada dua hakim yang dinilai independen karena setuju presidential threshold 20 persen dihapus, yaitu Saldi Isra dan Suhartoyo. Presidential threshold ini oleh Refly dinilai pangkal dari berkuasanya oligarki di Indonesia. Lebih dari itu, kata Refly, oligarki mampu membatasi jumlah calon presiden. “MK tidak melihat itu, aneh menurut saya,” kata dia
Dengan melihat potensi konflik kepentingan yang terjadi di MK, Refly mengatakan publik jangan berharap MK akan memberikan keputusan yang baik dan seadil-adilnya. “Putusannya tidak lagi mencerahkan,” ujar Refly.