TEMPO.CO, Jakarta - Panji Gumilang, pimpinan Ponpes Al Zaytun, Indramayu, dilaporkan ke polisi dengan perkara dugaan penistaan agama beberapa pekan lalu. Terbaru, Panji Gumilang menyerang balik menggugat Wakil Ketua MUI Anwar Abbas ke PN Jakarta Pusat. Gugatan juga dilayangkan kepada MUI secara lembaga.
Hal ini disampaikan Kuasa Hukum Panji Gumilang Hendra Effendy di Jakarta pekan lalu. Dalam aduannya, Abbas selaku Wakil Ketua Umum MUI disebut melakukan perbuatan melawan hukum. Gugatan tersebut didasarkan pada kerugian immaterial sebesar Rp 1 triliun yang diderita ponpes tersebut.
“Saudara Anwar Abbas dalam hal ini posisi sebagai Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum,” katanya, pada Senin, 10 Juli 2023.
Lalu apa itu kerugian immaterial akibat perbuatan melawan hukum menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata atau KUHPerdata?
Pengertian kerugian immaterial dapat ditelusuri dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Dalam beleid ini dijelaskan bahwa setiap perbuatan yang melanggar hukum dan menyebabkan kerugian pada orang lain, pelanggar wajib mengganti kerugian tersebut. Terdapat empat unsur yang harus dibuktikan bila hendak menggugat pelanggar yang menyebabkan kerugian. Salah satunya adalah unsur kerugian.
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut,” demikian bunyi Pasal 1365 KUHPerdata.
Sebagaimana dilansir dari djkn.kemenkeu.go.id, kerugian dalam hukum perdata dibagi menjadi 2, yakni kerugian materil dan kerugian immateril. Kerugian materil adalah kerugian yang diderita secara nyata. Sedangkan kerugian immateril merupakan kerugian atas manfaat yang mungkin diderita di kemudian hari. Secara praktik, sulit menentukan besaran kerugian immaterial, sehingga tergantung objektivitas hakim.
Lebih lanjut, menukil laman kepaniteraan.mahkamahagung.go.id, immaterial menurut terminology hukum oleh Ranuhandoka, diartikan sebagai “tidak bisa dibuktikan”. Sehingga kerugian immaterial merupakan kerugian yang diderita akibat perbuatan melawan hukum yang tidak dapat dibuktikan, dipulihkan kembali dan atau menyebabkan terjadinya kehilangan kesenangan hidup sementara, ketakutan, sakit, dan terkejut sehingga tidak dapat dihitung berdasarkan uang.
Adapun cakupan kerugian immaterial menurut Mahkamah Agung dalam Putusan perkara Peninjauan Kembali No. 650/PK/Pdt/1994, berdasarkan Pasal 1370, 1371, 1372 KUHPerdata, ganti rugi immateril hanya dapat diberikan dalam hal-hal tertentu saja seperti perkara Kematian, luka berat dan penghinaan. Berikut ketentuannya, sebagaimana dijelaskan dalam pasal-pasal tersebut.
1. Ketentuan Pasal 1370 KUHPerdata tentang kerugian immaterial akibat pembunuhan dengan sengaja
“Dalam hal pembunuhan dengan sengaja atau kematian seseorang karena kurang hati-hatinya orang lain, suami atau istri yang ditinggalkan, anak atau orangtua korban yang lazimnya mendapat nafkah dan pekerjaan korban, berhak menuntut ganti rugi yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta menurut keadaan.”
2. Ketentuan Pasal 1371 KUHPerdata tentang kerugian immateril akibat luka atau cacat
“Menyebabkan luka atau cacat anggota badan seseorang dengan sengaja atau karena kurang hati-hati, memberi hak kepada korban selain untuk menuntut penggantian biaya pengobatan, juga untuk menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat badan tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan. Ketentuan terakhir ini pada umumnya berlaku dalam hal menilai kerugian yang ditimbulkan oleh suatu kejahatan terhadap pribadi seseorang.”
3. Ketentuan Pasal 1372 KUHPerdata tentang kerugian immateril akibat penghinaan
“Tuntutan perdata tentang hal penghinaan diajukan untuk memperoleh penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik. Dalam menilai satu sama lain, hakim harus memperhatikan kasar atau tidaknya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan keadaan.”
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, dalam proses persidangan, pihak yang dirugikan berkewajiban menunjukkan keadaan matinya anggota keluarga, cacatnya anggota tubuh atau penghinaan yang dilakukan. Pembuktian dilakukan dengan mendalilkan dampak yang terjadi walaupun sepenuhnya tidak dapat dibuktikan. Itulah mengapa objektivitas hakim sangat berpengaruh menentukan besaran ganti rugi akibat kerugian immateril ini.
Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas MA, Riki Perdana Raya Waruwu berpendapat bahwa kerugian immaterial dalam perkara perbuatan melawan hukum tidak hanya menyangkut kematian, cacat berat, dan penghinaan. Melainkan termasuk juga kekecewaan. Menurutnya, perluasan tuntutan kerugian immaterial ini perlu direnungkan lebih jauh eksistensi dan relevansinya dalam praktik peradilan.
DJKN | MAHKAMAH AGUNG | EKA YUDHA SAPUTRA
Pilihan editor : Panji Gumilang Gugat Ketua Umum MUI ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat