Pernyataan itu, disampaikan dalam pertemuan bertajuk “Anak-anak Pahlawan Revolusi Menjawab”, di Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi, Jl. Lembang D-58 Jakarta Pusat.
Salah satu putri Brigjen Sutoyo, Nani Sutoyo, mengatakan dalam program televisi berjudul “Kontroversi Petaka ‘65” pada bulan September 2001 lalu, ditulis bahwa “… ketika jenazah diangkat dari sumur, terlihat bersih semua mukanya sehingga bisa dikenal.”
Ucapan lainnya adalah, “... kejadian di Lubang Buaya berlangsung begitu cepat, sehingga tipis kemungkinan mereka [para jenderal] itu disiksa.” Ucapan-ucapan itulah yang menimbulkan dugaan bahwa penyiksaan terhadap para jenderal saat itu , tidaklah benar.
Nani menyatakan bahwa program televisi itu telah mengalami pengaburan fakta. “Karena kami semuanya [keluarga korban] melihat dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri, penyiksaan itu sudah terjadi sejak dari rumah,” katanya.
Ia mengakui mereka tidak mengetahui kondisi di perjalanan. “Tapi, menurut keterangan Pak Sukitman, yang menyaksikan langsung kejadian di Lubang Buaya, kami tahu bahwa ayah-ayah kami memang telah disiksa,” papar Nani dengan mimik sedih.
Menurut keterangan Sukitman, salah satu agen polisi yang menjadi saksi hidup dari kekejian para tentara Cakrabirawa, Gerwani, Pemuda Rakyat, Sukarelawan, dan Sukarelawati, dia memang menyaksikan langsung bagaimana para jenderal tersebut telah dianiya.
Meskipun pada saat itu, dia belum mengenal dan mengetahui bahwa orang-orang yang telah dianiaya itu adalah para jenderal yang menjadi korban penculikan tentara Cakrabirawa.
Kata Sukitman, pada 1 Oktober 1965 sekitar pukul empat pagi, dia juga dibawa oleh orang-orang berseragam Cakrabirawa ke daerah Lubang Buaya.
Di salah satu tenda di hutan Lubang Buaya itu, tutup mata yang dikenakannya dilepas dan dia melihat langsung peristiwa mulai dari penyiksaan, pemasukan para jenderal ke sumur, dan penembakan yang dilakukan oleh para tentara ke dalam sumur tersebut.
“Saya melihat semuanya, banyak orang diikat yang saya tidak tahu siapa saja orang itu. Di dalam tenda, banyak sekali orang di antaranya Cakrabirawa, Gerwani, Pemuda Rakyat, sukarelawan, dan sukarelawati,” kata Sukitman yang saat peristiwa penculikan itu, sedang mengawasi lingkungan perumahan dengan mengendarai sepeda.
Setelah semua orang yang diikat itu dimasukkan ke dalam sumur, sumur kemudian ditutupi dengan daun-daunan dan tanah sehingga tidak terlihat lagi bekas lubang di sana.
Dengan pengungkapan peristiwa itu, Sukitman sangat berharap, pengaburan fakta yang terjadi belakangan ini atas peristiwa 1 Oktober 1965 itu, tidak diteruskan lagi.
“Saya mengatakan dengan sebenar-benarnya. Saya tidak ingin sejarah yang sebenarnya, dapat berubah,” tandasnya.
Mengenai dugaan bahwa hal itu dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), menurut Sukitman, hal itu dapat dilihat dari pakaian seragam yang dikenakan oleh orang-orang bersenapan saat itu. "Semua orang tahu kalau Gerwani dan Pemuda Rakyat itu adalah bagian dari PKI."
Menanggapi hal itu, Nani Sutoyo juga menyatakan bahwa apapun yang dikatakannya pada hari pertemuan hari ini, merupakan dimensi manusia dari sejarah Indonesia, yang sama sekali tidak dilatarbelakangi oleh kepentingan politis.
“Ini kami katakan jauh dari lubuk hati kami. Kami hanya ingin menyuarakan apa yang selama ini kami simpan dalam hati. Dan ini kami suarakan karena belakangan ini sudah terlalu banyak kontroversi mengenai peristiwa memilukan itu,” katanya.
Ditambahkan pula oleh salah satu putri Jenderal Ahmad Yani, Amelia Yani, bahwa pernyataan yang mereka suarakan pada hari ini merupakan itikad baik dari mereka untuk menjaga keutuhan bangsa, serta pembelaan terhadap ayah-ayah mereka.
“Kami semua menyaksikan apa yang telah mereka [Cakrabirawa] lakukan pada ayah kami di rumah saat itu. Mereka ditembaki, dan diseret ke luar rumah. Itu saja sudah kami anggap penyiksaan, jadi tidak benar kalau ayah kami tidak disiksa, rasanya itu tidak manusiawi sekali,” ujarnya dengan suara bergetar.
Selain dari apa yang mereka saksikan di rumah saat itu, kata Amelia, penyiksaan itu juga diketahui dari hasil visum tim dokter TNI AD yang mengatakan bahwa tubuh mereka sudah tidak dapat dikenali lagi. Kalaupun dikenali, itupun dari pakaian yang para jenderal pakai saat itu. Bahkan ketika pihak keluarga ingin melihat jenazah, tim dokter melarang.
“Itu kan membuktikan bahwa kondisi ayah kami sudah rusak, sehingga kami disarankan untuk tidak melihat jenazah ayah kami,” cetus Amelia kepada para wartawan, usai pertemuan itu.
Seperti diketahui, belakangan ini terjadi kontroversi mengenai kejadian sebenarnya dari peristiwa 1 Oktober 1965. Disebutkan pula bahwa kondisi para jenazah saat dikelaurkan dari sumur di Lubang Buaya, masih dalam keadaan mulus dan tidak terlihat tanda-tanda penyiksaan di tubuh mereka. (juke illafi k/iwan r zaelani-tempo news room)