Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta: Kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Tanjung Priok pada September 1984 lalu mulai disidangkan di Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat, Senin (15/9). Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Ad Hoc Andi Samsan Nganro, sepuluh dari sebelas terdakwa hadir. Mereka adalah Sutrisno Mascung, mantan Danru III Yon Arhanudse-06, beserta sembilan anak buahnya yaitu Asrosi, Abdul Halim, Zulfata, Sumitro, Sofyan Hadi, Prayogi, Winarko, Idrus, dan Muhson. Satu terdakwa, Siswoyo, berhalangan hadir karena sakit. Sidang ini diisi dengan pembacaan dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam dakwaan setebal 22 halaman yang dibacakan secara bergantian oleh JPU Ad Hoc Widodo Supriady, Hazran, Yessy Esmiralda, dan Akhmad Jumali, seluruh terdakwa dijerat dengan pasal berlapis yaitu tindakan pembunuhan sebagaimana diatur dalam pasal 7 hurup b jis pasal 9 huruf a, pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP sebagai dakwaan pertama primer. Mereka juga dijerat dengan dakwaan kedua primer percobaan pembunuhan sebagaimana diatur dalam pasal 7b Jis 9a, pasal 37, pasal 41 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, pasal 53 (1) KUHP subsider pasal 7b Jis pasal 9h, pasal 40 Undang-Undang No. 26 tahun 2000, pasal 55 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan. Dalam uraian dakwaan, Jaksa Penuntut Umum menjelaskan bahwa pada 12 September 1984 sekitar pukul 23.00 WIB, para terdakwa (termasuk Parnu dan Kartijo yang belum diketahui keberadaannya) yang tergabung dalam Regu III Pasukan Yon Arhanudse-6 yang di BKO-kan ke Kodim 0502 Jakarta Utara bersama dengan Kapten Sriyanto selaku Kasi-2/Ops Kodim 0502 Jakarta Utara (perkaranya diajukan terpisah) telah melakukan pelanggaran HAM berat yaitu melakukan pembunuhan terhadap penduduk sipil. Tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan itu, menurut JPU dilakukan sebagai bagian dari serangan yangn meluas atau sistematik. Serangan itu diketahui para terdakwa ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan. "Akibatnya jatuh korban sipil kurang lebih 23 orang atau setidak-tidaknya 14 orang meninggal dunia," jelas Widodo Supriady. Serangan itu selain menimbulkan korban jiwa, juga menyebabkan sejumlah kurang lebih 64 orang atau setidak-tidaknya 11 orang menderita luka tembak dan dikategorikan oleh JPU sebagai percobaan pembunuhan. JPU lebih lanjut menjelaskan, peristiwa itu merupakan implikasi dari peristiwa sebelumnya. Pada 7 September 1984 sekitar pukul 16.00 WIB, Sertu Hermanu, Babinsa Kelurahan Koja Selatan Tanjung Priok Jakarta Utara yang sedang berpatroli di daerah itu mendapat laporan dari masyarakat bahwa di Mushola As-Saadah ada beberapa pamflet yang di tempel di dinding dan pagar mushola. Pamflet itu isinya menghasut masyarakat dan menghina pemerintah, aparat Kodim, dan Polisi. Menurut JPU,sejak Juli 1984 situasi di wilayah tersebut terutama di bidang sosial dan agama memang sedang panas. Hal itu dipicu oleh penceramah-penceramah yang menghasut jamaahnya dengan ceramah yang cenderung melawan kebijakan pemerintah kala itu. Para penceramah seperti Abdul Qadir jaelani, Sarifin Maloko, dan Salim Qadar, yang mengisi kelompok jamaah pengnajian di sekitar Kelurahan Koja menentang azas tunggal Pancasila, larangan penggunaan jilbab, dan program keluarga berencana. Mendengar laporan masyarakat, Sertu Hermanu menemui pengurus Mushola dan meminta agar pamflet itu dilepas. Namun saat Sertu Hermanu itu keesokan harinya kembali untuk mengecek ternyata pamflet-pamflet itu masih terpasang. Ia pun segera melepas pamflet-pamflet itu. Setelah itu, timbul isu di daerah itu bahwa Sertu Hermanu telah masuk Mushola tanpa membuka sepatu dan melepas pamflet dengan air got. Isu itu langsung menyulut amarah masyarakat. Sejumlah remaja dan jamaah mushola lalu meminta kepada pengurus Mushola agar Sertu Hermanu meminta maaf. Saksi Ahmad Sahi sebagai pengurus mushola lalu melaporkan ke Ketua RW. Ketua RW lalu menyarankan agar saksi membuat laporan secara tertulis kepada komandannya. Ia juga melaporkan hal itu kepada Amir Biki pada 8 September 1984. Amir waktu itu menganggap persoalan itu sebagai persoalan kecil yang tak perlu dibesar-besarkan dan meminta agar saran Ketua RW dijalankan. Pada 10 September 1984, Sertu Hermanu datang ke kantor RW 05 Kelurahan Koja Selatan. Ternyata massa berdatangan dan mencoba mengeroyok Hermanu. Meski berhasil lolos dari pengeroyokan, motornya berhasil dibakar massa. Setelah kejadian itu empat warga ditahan di Kodim 0502 Jakarta Utara. Amir Biki lalu berusaha meminta agar mereka dikeluarkan namun tak berhasil. Pada 12 September 1984 dilangsungkan pengajian umum di Jalan Sindang Kelurahan Jakarta Utara dengan peserta sekitar 3.000 orang. Dalam acara tersebut, Amir kembali mengemukakan tuntutannya agar para tahanan dibebaskan. Bahkan konon ia sempat menelepon Kodim 0502 yang diterima oleh saksi Sriyanto dan mengancam akan membunuh warga Koja keturunan Cina dan membakar pertokoan milik mereka jika keempat tahanan tak juga dibebaskan hari itu juga. Mendapat ancaman seperti itu, Dandim 0502 segera berkoordinasi. Markas Komando Batalyon Arhanudse-6 Jakarta Utara memberangkatkan pasukan Arhanudse-6 sebanyak satu peleton yang terdiri dari 40 orang. Masing-masing dilengkapi senjata semi otomatis SKS lengkap dengan bayonet dan 10 butir peluru tajam. Pasukan lalu dibagi tiga regu. Dalam perjalanan menuju lokasi pengajian akbar, pasukan melihat massa penduduk sipil yang jumlahnya ribuan tengah berjalan sambil berteriak-teriak menuju arah Makodim 0502 Jakarta Utara. Dalam situasi tersebut Kapten Sriyanto lalu memerintahkan agar truk yang membawa regu III berbelok di depan Mapolres dan berhenti di pinggir jalan. Terdakwa Sutrisno Mascung, selaku pemimpin regu lalu memerintahkan pasukannya turun dan menyusun formasi untuk membubarkan massa. Namun karena massa tak bisa dibubarkan, regu III yang dipimpin Sutrisno Mascung langsung melepaskan tembakan berkali-kali kearah massa. "Bahkan terhadap massa yang lari menyelamatkan diri," jelas JPU. Akibatnya banyak korban berjatuhan, termasuk diantaranya meninggal dunia. Usai mendengarkan dakwaan, para terdakwa langsung meminta kepada penasehat hukumnya mengajukan eksepsi. "Kami tidak terima dengan tuduhan itu," kata Sutrisno Mascung. Rencananya eksepsi itu akan dibacakan pada dua minggu mendatang, Senin (29/9). Nunuy Nurhayati - Tempo News Room