INFO NASIONAL – Endapan dana pemerintah daerah (pemda) di perbankan yang sudah berlangsung cukup lama harus segera dihentikan sebelum menjadi preseden buruk. Kebiasaan pengguna anggaran dan kuasa anggaran mengendapkan dana pembangunan menjadi salah satu titik lemah dalam proses pembangunan nasional.
Pengendapan menjadikan dana ratusan triliun rupiah itu tidak produktif. Padahal pembangunan berkelanjutan saat ini masih menghadapi masalah tentang kemiskinan hingga kemiskinan ekstrim, masalah puluhan ribu balita yang gagal tumbuh ideal akibat kekurangan gizi kronis (stunting), puluhan ribu anak putus sekolah, masalah tingginya angka kematian ibu dan bayi, hingga belum terpenuhinya infrastruktur dasar pada belasan ribu desa, termasuk kebutuhan masyarakat pedesaan akan jaringan internet.
Baca Juga:
Publik yang awam tentang disiplin pengelolaan dan penggunaan anggaran tentu akan kecewa atau marah. Akan muncul asumsi bahwa jika ada kemauan politik dari setiap pemerintah daerah, dana triliunan rupiah itu bisa digunakan untuk menyediakan gizi yang dibutuhkan puluhan ribu Balita, atau membantu anak-anak putus sekolah.
Masalah pengendapan dana pemda sudah berlangsung cukup lama, sehingga dikhawatirkan menjadi preseden jika dibiarkan berlarut-larut. Kendati sudah berlangsung lama, tak pernah dihadirkan jalan keluar untuk mengatasi atau menyelesaikan masalah ini.
Akibatnya, dari waktu ke waktu, volume dana pemda yang mengendap di perbankan terus bertambah besar. Per Agustus 2022 misalnya, dana pemda yang mengendap di bank mencapai Rp 203,42 triliun. Ada tambahan Rp9,96 triliun atau naik 5,15 persen dari bulan sebelumnya, karena per Juli 2022 masih berjumlah Rp193,46 triliun.
Baca Juga:
Pada Agustus 2021, dana pemda yang mengendap di bank tercatat Rp178,95 triliun. Terlihat bahwa dalam rentang waktu setahun itu, simpanan dana Pemda bertambah dalam jumlah yang cukup signifikan.
Kuasa dan pengguna anggaran pada masing-masing daerah tentu punya argumentasi sebagai alasan mengendapkan dana itu di bank. Namun, akan selalu muncul pertanyaan mengapa harus diendapkan di bank? Untuk berapa lama lagi dana yang menjadi hak rakyat itu disimpan di bank. Dan, ketika kementerian keuangan sering menyoal fakta pengendapan dana itu, penyikapan yang demikian adalah bentuk lain dari kritik terhadap model pengelolaan sumber daya seperti itu. Bukan hanya tidak produktif, melainkan juga tidak memenuhi etika beranggaran.
Sering dikedepankan alasan bahwa kenaikan pendapatan daerah dan menurunnya belanja pemda sebagai faktor utama penyebab endapan dana itu. Alasan ini terkesan mengada-ada, dan tentu saja mudah dimentahkan. Apakah ragam kebutuhan daerah dan masyarakatnya sudah tercukupi sehingga menurunnya belanja daerah itu dapat dibenarkan begitu saja?
Persoalan endapan dana pemda bernilai ratusan triliun ini di-up-date lagi oleh Presiden Joko Widodo pada Rabu 30 november 2022 saat Rapat Koordinasi Nasional Investasi. Presiden minta pemda segera merealisasikan anggaran belanja dan pendapatan daerah (APBD), karena masih ada Rp 278 triliun dana mengendap di bank.
"Tahun lalu, biasanya di bulan-bulan seperti ini paling Rp 200 triliun, Rp 220 triliun. Pagi tadi, kita cek. Uang yang ada di bank masih Rp 278 triliun," kata Jokowi. Artinya, hanya dalam hitungan beberapa bulan saja, timbunan dana pemda di bank bertambah lebih dari Rp 75 triliun, karena di bulan Agustus tahun yang sama masih berjumlah Rp 203,42 triliun.
Kalau tidak ada terobosan kebijakan yang segera, jumlah endapan dana Pemda di bank tahun ini akan bertambah lagi dan terus membesar. Idealnya, fakta persoalan ini harus dilihat dan dipahami sebagai kecenderungan yang tidak sehat. Ironis, ada dana ratusan triliun rupiah tapi tidak dimanfaatkan ketika proses pembangunan nasional harus diakselerasi.
MPR RI memberi perhatian khusus terhadap kecenderungan yang tidak sehat ini. Maka, pemerintah bersama DPR RI hendaknya segera berembuk guna merumuskan kebijakan dalam mengatasi masalah ini. Pemerintah dan DPR harus berpegang teguh pada prinsip bahwa pengelolaan anggaran yang tidak produktif tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.
Saat ini, ketika ratusan triliun rupiah dana pembangunan hanya disimpan oleh banyak pemda di bank, sejumlah masalah mendasar masih terbentang nyata. Masih ada fakta tentang kemiskinan ekstrim, termasuk di Jakarta dan beberapa wilayah di Pulau Jawa. Menurut Badan Pusat Statistika (BPS), jumlah penduduk miskin pada September 2022 sebesar 26,36 juta orang. Pada 2021, penduduk berstatus miskin ekstrim mencapai 4,8 persen dari total penduduk miskin nasional yang mencapai 10,14 persen.
Data BPS selanjutnya, anak putus sekolah terdapat pada semua jenjang pendidikan, dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Tingginya angka putus sekolah disebabkan banyak faktor, seperti kurangnya minat anak untuk sekolah, faktor ekonomi, faktor lingkungan hingga faktor kesehatan.
Persoalan Balita stunting pun hendaknya mendapat perhatian semua pemda. Menjelang akhir Januari 2023, Kementerian Kesehatan mengumumkan bahwa prevalensi stunting masih di kisaran 21,6 persen pada 2022.
Selain itu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) juga mencatat masih tingginya angka kematian ibu dan bayi. Angka kematian bayi tercatat 24 per 1.000 kelahiran. Angka kematian ibu juga masih cukup besar, yakni 230 per 100 ribu kelahiran hidup.
Jika saja semua Pemda mau bertindak kreatif dalam mengelola anggaran, sebagian dana yang disimpan di bank itu dapat digunakan untuk mengatasi berbagai masalah tersebut. (*)
Bambang Soesatyo - Ketua MPR RI/Dosen Tetap Fakultas Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka.