Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menyebut alasan Jokowi menerbitkan Perppu CIpta Kerja tidak memenuhi tiga syarat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Tiga syarat ini yaitu:
1. Ada masalah hukum yang mendesak dan butuh ditangani sesegera mungkin
2. Ada hukum tetapi tidak menyelesaikan masalah atau masih menimbulkan kekosongan hukum
3. Butuh proses yang cepat untuk menghasilkan produk hukum.
Feri menilai tiga syarat ini tidak terpenuhi dalam Perppu yang berisi 1.117 halaman ini, lebih sedikit dari UU Cipta Kerja yang berjumlah 1.187. Ia tidak pernah melihat ada Perppu alias UU darurat yang berisi ratusan pasal.
"Rajin betul orang dalam keadaan darurat bisa buat ratusan pasal, tentu masalahnya (kedaruratannya) sudah pasti lewat," kata Feri.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas ini juga menyinggung ucapan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Outlook Ekonomi 2023. Selain itu, Feri juga menyebut tidak ada negara di dunia yang menerbitkan UU darurat, seperti Perppu, meski terdampak kondisi ekonomi tersebut.
Adapun pernyataan yang disinggung Feri, disampaikan Sri Mulyani pada 21 Desember 2022, sebelum Perppu Cipta Kerja tersebut disahkan. Saat itu, Sri Mulyani menyebut kondisi ekonomi Indonesia kini stabil dari sisi makroekonomi, fiskal moneter, dan sektor keuangan secara.
Tapi saat itu, Sri Mulyani juga mengutip pernyataan Jokowi bahwa tahun 2023 semakin sulit untuk diprediksi. "Karena faktornya bukan masalah ekonomi, tapi karena masalah geopolitik," kata dia.
Jokowi dituding timbulkan ketidakpastian dan kekacauan tata negara
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengkritik alasan Perppu Cipta Kerja untuk memberi kepastian hukum pada investor. Padahal, kata dia, sejak awal Jokowi-lah yang menimbulkan ketidakpastian dan kekacauan dalam tata negara.
Awalnya, Jokowi membuat UU Cipta Kerja. MK lalu menyatakan produk hukum ini inkonstitusional bersyarat karena metode Omnibus Law pada UU Cipta Kerja tak ada dasar hukumnya. Pemerintah kemudian merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan memasukkan metode Omnibus Law ini dalam tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Itu kan artinya membuat sesuatu yang dasar hukumnya enggak ada, enggak jelas, sehingga timbul ketidakpastian hukum," kata Isnur.
Setelah Perpu Cipta Kerja terbit, tidak hanya buruh yang mengkritik tapi juga pengusaha. "Jadi pertanyaannya ini (Perppu Cipta Kerja) dibuat untuk siapa? Kelompok siapa yang diuntungkan dari sini?" kata dia.
Salah satu yang mengkritik yaitu Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang mengaku kecolongan karena tak dilibatkan dalam pembuatan Perpu Cipta Kerja. Apindo juga menyebut tak diajak bicara oleh pemerintah dalam pengesahan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.
"Kita nggak diundang. Kita juga sedih, tiba-tiba muncul kita kaget. Karena waktu Permenaker kita juga nggak diajak ngomong. Dalam perjalanan ini kita menempa juga untuk lebih mature, lebih matang lah menghadapi ini," kata Ketua Umum Hariyadi B. Sukamdani dalam konferensi pers di kantor Apindo, Jakarta, Selasa, 3 Januari 2023.
Selanjutnya, dalih Jokowi dan Mahfud Md