Maruarar Siahaan
Terakhir yaitu mantan hakim MK periode 2003-2008, Maruarar Siahaan. ia menjelaskan bahwa Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 soal Cipta Kerja adakah putusan yang menjawab permohonan uji formil.
"Berkenaan dengan prosedur dan tata cara pembentukan undang-undang yang kurang memberi kesempatan menampung aspirasi masyarakat sebagai pemegang kedaulatan dalam pembentukan undang-undang," kata dia kepada Tempo.
Sehingga, kata dia, jawaban pembuat UU sesungguhnya adalah memperbaiki UU tersebut dengan menampung aspirasi masyarakat untuk diadopsi dala UU Cipta Kerja. Tapi Jokowi memilih langsung menerbitkan Perpu.
Bagi Maruarar, pembentukan Perpu boleh jadi dapat dianggap memenuhi syarat kegentingan memaksa yang disebut Pasal 22 UUD 1945. Tetapi hal ini problematis, karena Perpu ini tidak menjawab persoalan uji formil yang dikabulkan MK.
Maruarar mengakui ada keterbatasan waktu bagi Jokowi, yang hanya berkuasa sampai 2024, untuk menjalankan putusan MK soal uji formil. Upaya ini membutuhkan waktu dari menampung aspirasi, menyusun naskah akademik, dan draf UU perubahan, yang semuanya pasti membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Tapi di sisi lain, pemerintah dan anggota DPR terlibat dalam proses Pemilu Serentak 2024 yang panjang. Sehingga, Maruarar menyebut fokus perhatian pun akan terbagi. "Tidak dapat diharapkan akan fokus pada persoalan perbaikan UU Cipta Kerja lagi dari segi perbaikan prosedur dan tata cara pebentukan UU," kata dia.
Tetapi harus diakui, kata Maruarar, respons implementasi dengan Perpu ini agak riskan karena menimbulkan efek samping yang harus diperhitungkan. "Yaitu titik berat kepatuhan terhadap konstitusi sebagai suatu negara hukum, yang seyogianya jadi pedoman dalam implementasi putusan MK sebagai suatu mekanisme checks and balances," ujarnya.