TEMPO.CO, Jakarta - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) selangkah lagi disahkan menjadi Undang-Undang. Namun, kelompok masyarakat sipil menilai RKUHP masih memuat sejumlah pasal karet. Salah satunya pasal 256 tentang Penyelenggaraan Pawai, Unjuk Rasa, atau Demonstrasi.
Dalam draf RKUHP versi 30 November 2022, Pasal 256 menyebutkan “Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”.
Anggota DPR Komisi Hukum Fraksi Partai NasDem, Taufik Basari, mengatakan delik pasal 256 bukan untuk pihak yang menggelar unjuk rasa, melainkan delik terganggunya ketertiban umum, keonaran, atau huru-hara. Menurut dia, pasal ini dimaksudkan agar tiap unjuk rasa digelar dengan koordinasi bersama pihak aparat untuk tidak mengganggu ketertiban umum, jalannya lalu lintas, hingga kepentingan pihak lain.
“Pasal ini mesti dibaca dengan keseluruhan RKUHP ini, yakni semangat RKUHP bukan semangat punitive, karena KUHP baru ini semangatnya dilandaskan pada upaya restorative,” kata Taufik saat dihubungi, Senin, 5 Desember 2022.
Taufik mengatakan baik pemerintah maupun DPR perlu mensosialisasikan pasal ini kepada aparat penegak hukum. Tujuannya, kata dia, agar aparat tidak serta merta menerapkan pasal dan lebih selektif dalam implementasinya.
“Jadi sebenarnya yang dipermasalahkan teman-teman bukan substansi pasal, melainkan bagaimana penerapannya,” ujarnya.
Taufik menjelaskan, ada masa tunggu selama 3 tahun sebelum RKUHP berlaku. Menurut dia, masa jeda ini bisa dimanfaatkan untuk mensosialisasikan pasal-pasal RKUHP terhadap aparat penegak hukum untuk menghindari kekhawatiran kelompok masyarakat sipil ihwal pasal ini.
“Problemnya di implementasi, bukan substansi materi. Implementasinya bisa menimbulkan kekhawatiran berdasarkan pengalaman kita selama ini. Nah yang perlu kita perbaiki bagaimana implementasi ini dilakukan dengan pemahaman yang benar,” kata dia.|
Komisi Hukum DPR bersama pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM menyepakati RKUHP di tingkat I pada Kamis, 24 November 2022. Keputusan ini diambil usai Komisi Hukum dan pemerintah membahas 23 poin yang dirangkum dari daftar inventarisasi masalah (DIM) fraksi yang diserahkan kepada pemerintah.
Adapun pada Kamis, 1 Desember 2022 lalu, Aliansi Nasional Reformasi KUHP meluncurkan panduan bertajuk “RKUHP: Panduan Mudah #TibaTibaDiPENJARA"” sebagai bentuk penolakan terhadap 48 pasal yang dinilai bermasalah dalam draft RKUHP.
Peluncuran itu disematkan di acara Kamisan yang dihadiri oleh sejumlah elemen masyarakat sipil, di antaranya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), dan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Kasbi).
“Kami bisa menjelaskan ratusan alasan untuk menerbitkan panduan ini,” ujar perwakilan BEM Universitas Indonesia di sela-sela acara Kamisan di Taman Pandang Istana Jakarta Pusat, Kamis, 1 Desember 2022.
Dalam agenda itu, perwakilan aliansi masyarakat sipil secara bergantian mendeklarasikan 6 pasal yang dinilai bermasalah.
Pasal 218 tentang Penghinaan Presiden: dianggap dapat membungkam rakyat.
Pasal 256 tentang Pawai dan Unjuk Rasa Tanpa: dianggap menghambat masyarakat berpendapat.
Pasal 342 tentang Lingkungan: jika disahkan akan mempersulit menangkap pelaku perusak lingkungan.
Pasal 188 tentang Penyebaran Marxisme dan Leninisme: mengundang multitafsir terhadap pemaknaan penghinaan terhadap Pancasila.
Pasal 605 tentang Tindak Pidana Korupsi: pasal ini dinilai memberikan keuntungan kepada koruptor sebab menurunkan denda tindak pidana korupsi.
Pasal 600 tentang Pelanggaran HAM Berat: jika disahkan, pelanggaran HAM berat akan diubah dari khusus ke umum sehingga kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum RKUHP disahkan tidak bisa dibawa ke dalam proses hukum.
IMA DINI SHAFIRA | ALFITRIA NEFI PRATIWI