TEMPO.CO, Jakarta - Bencana alam kerap memunculkan kejadian tak terduga. Warga yang mengungsi membuat rumah-rumah ditinggalkan tanpa penjagaan. Hal itu memicu perbuatan kriminal misalnya penjarahan atau pencurian.
Menjarah benda milik korban bencana atau barang bantuan merupakan pelanggaran hukum. Meski penjarahan tidak diatur khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tetapi menggunakan konsep pencurian pada penjarah bisa dilakukan.
Baca : Perilaku Looting Behaviour, Penjarahan Saat Bencana yang Perlu Diwaspadai
Sehingga, orang yang melakukan penjarahan dapat dikenai dengan Pasal 362 KUHP, yang berbunyi “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda...,-”
Kemudian, hal ini dijelaskan lebih rinci pada Pasal 363 KUHP tentang pencurian dengan pemberatan, yang berbunyi:
- Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
- pencurian ternak;
- pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang;
- pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;
- pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
- pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
- Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.
Namun, di dalam hukum pidana terdapat alasan penghapusan pidana yang bernama Dasar Penghapus Pidana, yang diatur di dalam Pasal 48 KUHP yang berbunyi, “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”.
Menurut buku berjudul Hukum Pidana oleh Didik Endro Purwoleksono, daya paksa yang ada di dalam Pasal 48 terdiri dari keadaan memaksa dan keadaan darurat. Keadaan darurat adalah dasar pembenar, yaitu membenarkan perbuatan pelaku sehingga bukan perbuatan melawan hukum. Sepanjang penjarahan dilakukan untuk mempertahankan hidup, perbuatannya menjadi perbuatan yang tidak lagi melawan hukum karena ia harus mempertahankan hidupnya meski terpaksa menjarah.
MUHAMMAD SYAIFULLOH
Baca : Viral Video Relawan Gempa Cianjur Dicegat Warga, Kepala Desa : Bukan Penjarahan
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “http://tempo.co/”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.