INFO NASIONAL – Akhmad Basuki, Guru Penggerak dari SMPN 1 Banjarmasin, menyadari ucapannya, “Tidak ada yang tidak mungkin”. Di usianya yang menginjak lima puluh tahun, ia justru makin menikmati profesinya sebagai guru bahasa Inggris. Hal itu ia rasakan setelah mengikuti pendidikan Guru Penggerak dan mengimplementasikannya dalam pembelajaran selama satu tahun terakhir.
“Saat ini (saya) lebih punya rasa percaya diri. Mau mengajar, sharing dengan guru lain, tidak ada masalah,” ucap Basuki.
Padahal, menurut guru yang mulai mengajar sejak 1999 ini, ia dahulu adalah seorang yang tertutup. Dengan sesama rekan guru mata pelajaran bahasa Inggris pun ia merasa sulit berkomunikasi. Namun, setelah menjadi Guru Penggerak, ia tidak ragu bertanya dan bekerja sama, saling berbagi perangkat atau teknik mengajar, dengan sesama guru.
Semua berawal dari rutinitas Basuki membuka Sistem Informasi Manajemen untuk Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (SIMPKB). Dari situlah Basuki melihat informasi mengenai program Guru Penggerak dan memberanikan diri untuk mendaftar. Dengan dukungan sekolah, Basuki pun resmi mengikuti pendidikan Guru Penggerak Angkatan 2 pada 2021.
Meskipun pada awalnya merasa berat harus menjalani pendidikan selama sembilan bulan, tetapi dengan adanya lokakarya-lokakarya serta bantuan fasilitator dan instruktur, Basuki justru merasakan waktu berjalan singkat. Ia menikmati walaupun terkadang harus terjaga sampai pukul dua atau tiga dini hari untuk menyelesaikan tugas-tugas selama pendidikan, karena hanya itulah waktu yang ia punya selepas mengajar anak-anak dari pagi sampai siang hari.
Kini, banyak perubahan yang Basuki rasakan, baik dalam cara mengajar maupun meningkatkan kemampuan diri. Di kelas, mata pelajaran bahasa Inggris yang ia ampu tidak lagi mengandalkan membaca buku sepenuhnya. Siswa lebih banyak membuat projek-projek yang memberi mereka kebebasan untuk mengeksplorasi minat, hobi, dan lingkungan sekitar.
Pada tugas akhir misalnya, Basuki menugaskan para siswa untuk menceritakan pengalaman mereka di tempat wisata, pusat perbelanjaan, bermain gim, dan lain sebagainya, dalam bahasa Inggris. “Ya enggak apa-apa, yang penting kan prosesnya. Itu kemudian kita tampilkan (videonya), mereka ketawa sendiri, malah senang begitu,” ujar Basuki.
Di sisi lain, kini Basuki mengaku lebih terbuka dalam mempelajari teknologi informasi. Karena keinginan kuat untuk dapat mengimbangi siswa-siswanya yang lebih melek teknologi, Basuki berusaha meningkatkan kemampuannya. Selain melalui lokakarya dan bertanya dengan rekan guru di SMP Negeri 1 Banjarmasin, Basuki pun belajar secara mandiri.
“Saya mau enggak mau harus bisa. Bagaimana (caranya) bisa? Ya belajar. Bagaimana belajarnya? Akhirnya YouTube-lah sebagai teman,” tuturnya.
Bergerak, Tergerak, Menggerakkan
Perubahan signifikan juga dialami oleh rekan sesama Guru Penggerak di SMP Negeri 1 Banjarmasin, yang Bernama Norliani. Semula, guru pengampu mata pelajaran Matematika ini menganggap tugasnya mendidik selesai dengan mengajar di kelas. Perubahan pola pikir terjadi setelah Norliani mengikuti pendidikan Guru Penggerak. Ia menyadari bahwa tugasnya sebagai pendidik bukan sekadar mengajar, namun lebih dari itu yakni menuntun siswa secara holistik.
“Artinya, baik secara akademik maupun nonakademik, sikap dan perilakunya, supaya dia (siswa) mencapai kebahagiaan dan keselamatan di masa depan,” kata Norliani.
Norliani tertantang untuk dapat melaksanakan aksi nyata secara berkelanjutan. Tidak hanya saat mengikuti pendidikan Guru Penggerak, namun untuk seterusnya. Ia ingin dapat menuntun siswa menjadi pembelajar sepanjang hayat. Di sisi lain, ia juga ingin menggerakkan rekan-rekan sesama guru untuk berubah, melakukan transformasi pembelajaran dengan mengutamakan siswa.
Transformasi yang kini berlangsung, menurut Norliani, dimulai dari hal-hal kecil, tetapi secara terus-menerus dilakukan agar dapat menjadi kebiasaan yang baik. Salah satunya adalah membuat kesepakatan dengan siswa di kelas. Selain itu, siswa pun diajak menyepakati konsekuensi jika terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan tersebut, sehingga siswa menjadi disiplin tanpa dipaksa.
“Kalau dulu tidak ada kesepakatan kelas. Gurunya yang mengatur, harus begini, harus begini, tidak ada kemauan siswa yang diakomodir. Kalau sekarang, siswanya mau apa? Disepakati bersama,” tuturnya.
Kini Norliani lebih banyak membuat permainan untuk menerapkan konsep-konsep Matematika. Misalnya saja dengan memanfaatkan dadu dan kartu. Cara tersebut menurut Norliani efektif untuk menarik perhatian siswa karena mereka “tidak merasa” sedang belajar Matematika. Alih-alih menjadi momok, siswa justru bertambah minat terhadap mata pelajaran Matematika.
Jalan bagi Norliani untuk terus mengembangkan diri pun menurutnya sangat terbuka. Ia seringkali mengikuti webinar dan pelatihan daring secara mandiri. Selain itu, ia juga memanfaatkan wadah berbagi ide dan praktik baik serta pengembangan diri bagi guru, seperti laman Guru Berbagi (gurubelajardanberbagi.kemdikbud.go.id) dan platform Merdeka Mengajar (guru.kemdikbud.go.id). Norliani ingin agar rekan-rekan guru lainnya dapat memiliki kesempatan dan berani membuka diri dengan mengikuti program serupa seperti dirinya.
“Saya harap akan tergerak menjadi Guru Penggerak agar pendidikan kita makin maju, karena mindset kita akan berubah, yang tadinya belum bisa bergerak akan menjadi bergerak, tergerak, dan menggerakkan,” kata dia. (*)