TEMPO.CO, Jakarta - Langkah Polri yang memilih bungkam dalam kasus gratifikasi tambang ilegal di Kalimantan Timur yang dilakukan Ismail Bolong menuai kritikan dari Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah. Dia menilai bungkamnya Polri tersebut sebagai langkah untuk menyembunyikan borok di internal mereka.
"Diam dan membisunya petinggi Polri soal keterlibatan anggotanya dalam kejahatan tambang ilegal ini, bermakna ada yang hendak disembunyikan. Publik menduga petinggi sedang merencanakan skenario untuk melepaskan anggotanya dari jerat hukum," kata Herdiansyah lewat keterangan tertulis pada Sabtu 19 November 2022.
Kapolri dianggap hanya lakukan Lips Service
Hal tersebut, menurut Herdiansyah tentu saja tidak selaras dengan pernyataan Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo untuk membenahi institusinya. Sehingga hal tersebut hanya semacam lips service sebagaimana dinyatakan Kapolri beberapa waktu lalu.
"Jadi seolah semacam lips service yang tidak sejalan dengan tindakannya. Janji Kapolri itu sebatas jargon kosong. Jadi tidak mengherankan jika tingkat kepercayaan publik terhadap institusi ini semakin merosot," ujarnya.
Herdiansyah yang juga aktif dalam Aksi Kamisan Kaltim ini mengungkapkan bahwa gejala ini bisa ditangkap publik. Tambang ilegal yang kian marak dan cenderung didiamkan oleh kepolisian, mengindikasikan ada main mata diantara pelaku dan aparat.
"Pelaku kejahatan tambang ilegal tidak akan mungkin seberani ini kalau tidak mendapatkan backing dari aparat," kata dia.
Kasus tambang ilegal lainnya yang melibatkan anggota Polri
Selain kasus Ismail Bolong, Herdiansyah juga menyatakan bahwa terdapat kasus tambang ilegal lain yang melibatkan aparat kepolisian. Tambang ilegal tersebut berada di kawasan Kelurahan Tanah Merah, Samarinda, Kalimantan Timur.
Menurut dia, dalam persidangan terungkap fakta keterlibatan anggota kepolisian di kasus ini, namun hingga saat ini anggota polisi tersebut tak pernah dijerat secara hukum.
Soal Ismail Bolong, Herdiansyah menilai kasus ini sudah cukup jelas. Divisi Profesi dan Pengamanan Polri pun telah melakukan penyelidikan dan menyatakan memiliki alat bukti yang cukup terkait aliran dana tambang ilegal itu kepada para petinggi Polri. Namun, dia heran kasus ini tak pernah diungkap secara terang benderang.
"Soal Ismail Bolong ini yang mengherankan. Tempus delicti atau waktu kejadiannya kan sudah lama. Bahkan laporan pemeriksaan Propam tadi itu kan tertanggal 7 april 2022. Kenapa didiamkan dan seolah hanya selesai diinternal kepolisian? Ini kan berarti kepolisian sendiri sedang mengendapkan kejahatan," kata Herdiansyah.
Hasil penyelidikan yang dimaksud Herdiansyah itu tertuang dalam laporan nomor R/1253/IV/WAS.2.4./Divpropam tanggal 7 April 2022. Laporan yang sempat dilihat Tempo tersebut ditandatangi oleh Kadiv Propam saat itu Irjen Pol Ferdy Sambo.
Dalam laporannya, Sambo memperinci aliran dana kepada sejumlah petinggi Polri baik di jajaran Polda Kalimantan Timur hingga ke petinggi Badan Reserse Kriminal Polri. Dia pun menyatakan telah ditemukan bukti yang cukup atas aliran dana tersebut.
"Ditemukan cukup bukti adanya dugaan pelanggaran oleh anggota Polri terkait penambangan, pembiaran dan penerimaan uang koordinasi dari para pengusaha penambangan batubara ilegal yang bersifat terstruktur dari tingkat Polsek, Polres, Polda Kaltim dan Bareskrim Polri," tulis poin 3c laporan tersebut.
Para pejabat Polri bungkam
Tempo telah berusaha mengonfirmasi dokumen tersebut kepada sejumlah perwira tinggi Polri. Mereka adalah Kadiv Propam Irjen Syahar Diantono, Kadiv Humas Irjen Dedi Prasetyo, hingga Kabareskrim Irjen Agus Andriyanto. Namun hingga tulisan ini dimuat, mereka masih enggan menjawab.
Tempo juga berusaha mengonfirmasi dokumen penyelidikan kasus tambang ilegal Ismail Bolong tersebut kepada kuasa hukum Ferdy Sambo, Arman Hanis. Arman berjanji akan menanyakan soal itu kepada kliennya saat sidang Selasa mendatang.
"Saya hari ini gak besuk klien saya. Selasa pada saat sidang saya konfirmasi ke klien saya ya," ujarnya pada Jumat kemarin, 18 November 2022.