TEMPO.CO, Jakarta - Lead Co-Chair Global Health Security and COVID-19 Task Force T20 Indonesia, Prof Hasbullah Thabrany menjelaskan alasan kasus kanker di Indonesia terus meningkat. Menurutnya, faktor risiko kanker terbesar disebabkan karena konsumsi nikotin seperti rokok.
"Jadi, diketahui banyak penyakit-penyakit yang berhubungan dengan konsumsi rokok itu lebih dari 100, umumnya hampir semua sakit kanker berkorelasi positif terhadap konsumsi nikotin," kata Hasbullah kepada Tempo pada Ahad, 30 Oktober 2022.
Tak hanya rokok, ia mengatakan ada faktor risiko kanker lainnya seperti terlalu banyak mengkonsumsi makanan berminyak, jarang berolahraga, dan pola hidup yang tidak sehat. Sehingga, kata Hasbullah, 4 dari 1000 orang akan lebih mudah terkena kanker.
Baca juga: Cukai Rokok Naik Tahun Depan, Kemenkes Semula Berharap Bisa Sampai 25 Persen
"Kalau tinggal di Jerman atau di Jepang, musim dingin susah buat lari pagi. Kita bisa lari pagi setiap hari sepanjang tahun, tapi tidak kita lakukan karena behavior kita," kata dia.
Hasbullah mengatakan peran pemerintah dalam menangani kasus kanker di Indonesia sangat diperlukan, terlebih kepada masyarakat yang tidak mampu.
Mulai dari jaminan kesehatan perawatan dan pengobatan kanker yang ditanggung secara menyeluruh, membangun kesadaran masyarakat dengan kampanye pola hidup sehat, bahaya rokok, dan menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan pemeriksaan kanker yakni deteksi dini secara gratis.
Ia juga menilai seharusnya pemerintah membuat suatu kebijakan untuk menghambat pertumbuhan kanker dengan cara memperkecil faktor risiko, yaitu dengan mempersulit jual beli rokok. Menurutnya, ini ada hubungannya dengan pola hidup masyarakat Indonesia yang sebagian besar menjadi perokok.
"Kalau memang membahayakan ya kasih instrumen untuk mereka agar tidak mampu beli (rokok). Jangan memudahkan situasi mereka membeli rokok," kata dia.
Bila sudah terkena kanker, kata Hasbullah, pengobatannya bisa mencapai Rp 1 miliar, tergantung kondisinya.
Ia mencontohkan bila kanker dalam kondisi stadium 1, maka masih bisa ditempuh dengan jalur operasi. Namun, bila sudah masuk stadium 3-4, maka pengobatannya akan lama dan membutuhkan penanganan yang biayanya cukup mahal.
"Ada lagi obat kanker, tergantung kondisi jaringannya, dan sebagainya, itu bisa menghabiskan Rp 1 miliar lagi. Kalau operasi diangkat paling habis 15-20 juta. Maka kuncinya harus deteksi dini," ujarnya.
Baca juga: Cukai Rokok 2023 dan 2024 Naik 10 Persen, Ini Kajian dan Pertimbangan Kemenkeu
GADIS OKTAVIANI