TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Kepolisian, Bambang Rukminto menilai penggunaan poligraf atau alat penguji kebenaran dalam pengungkapan kasus Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat menunjukkan polisi kesulitan untuk menemukan bukti dalam memperkuat sangkaan. Dia pun mengkhawatirkan para tersangka akan lolos dari hukuman terberat.
"Dengan menggunakan lie detector ini seolah menunjukan bahwa Kepolisian kesulitan untuk menemukan bukti-bukti yang memperkuat sangkaan. Asumsinya polisi tak mampu mengumpulkan bukti-bukti untuk memperkuat sangkaan. Kalau sudah demikian, akan muncul asumsi bahwa tersangka akan lolos pada ancaman hukuman terberat," kata Bambang saat dihubungi Jumat 9 September 2022.
Tersangka memiliki hak ingkar
Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) ini menjelaskan bahwa penggunaan lie detector menjadi kontradiksi karena dilakukan terhadap saksi yang juga menjadi tersangka. Pasalnya, seorang tersangka memiliki hak ingkar atau hak untuk tidak menyatakan kejadian sebenarnya kepada penyidik.
Bambang pun menilai polisi sebenarnya tidak perlu melakukan pengujian kebenaran semacam ini. Dia menyatakan bahwa penyidik seharusnya tak mengejar pengakuan dari para tersangka dan fokus pada pencarian alat bukti lain untuk memperkuat sangkaan.
"Logikanya seseorang tersangka itu memiliki hak ingkar, bohong atau menyangkal, kenapa harus ditest dengan lie detector? Ini substansinya adalah mengejar pengakuan tersangka," ujarnya.
Pengakuan tersangka bernilai paling rendah
Bambang menjelaskan, dalam penyidikan, pengakuan tersangka bernilai paling bawah diantara bukti-bukti lainnya. Menurut dia, mengungkapkan bukti materiil adalah yang lebih penting daripada pengakuan tersangka.
"Pengakuan tersangka itu nilainya paling bawah dalam sebuah penyidikan. Jauh di bawah bukti-bukti materiil. Profesionalisme dan kepiawaian polisi itu ditunjukan dengan mengumpulkan bukti-bukti materiil," ucapnya.
Penggunaan lie detector ini menurut Bambang mencuat setelah adanya kasus kopi sianida yang menewaskan Wayan Mirna Salihin pada 2016 lalu. "Dalam kasus kopi sianida yang menewaskan Mirna, polisi menggunakan tes deteksi kebohongan pada Jessica Wongso sebagai tersangka," ucapnya.
Selanjutnya, alat lie detector Polri diklaim memiliki akurasi hingga 93 persen