TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menolak tawaran menjadi anggota Tim Non-Yudisial Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat. Dia beralasan tim itu memiliki wewenang yang sangat terbatas dan tidak tuntas.
“Setelah saya pelajari dan diskusikan, kami memutuskan tidak bergabung dalam tim tersebut,” kata Usman di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jumat, 26 Agustus 2022.
Usman menuturkan mandat tim tersebut hanya terbatas pada urusan rehabilitasi korban. Rehabilitasi, kata dia memang penting. Rehabilitasi, kata dia, memang merupakan hak korban. Namun, menurut dia upaya tersebut tidak komprehensif.
Dia berharap tugas tim tersebut memiliki cakupan yang lebih luas. Misalnya, untuk merumuskan kebijakan pemerintah yang menjamin peristiwa pelanggaran HAM berat tidak terulang.
Dia berujar korban juga memiliki hak atas kebenaran. Hak atas kebenaran yang dimaksud, yakni dilakukannya penyelidikan tentang penyebab pelanggaran HAM berat di masa lalu bisa terjadi. “Kenapa peristiwa 65 bisa terjadi, kenapa peristiwa Tanjung Priok bisa terjadi?” tutur dia.
Dia menceritakan mendapatkan tawaran untuk menjadi anggota tim tersebut pada 8 Agustus 2022. Tawaran itu disampaikan melalui telepon. Dia sempat meminta waktu untuk berpikir dan berdiskusi. Dia akhirnya memutuskan menolak tawaran itu.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengumumkan telha meneken Keputusan Presiden tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu saat sidang MPR, Selasa, 16 Agustus 2022.
Jokowi mengatakan memberikan perhatian serius terhadap penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Selain Keppres tersebut, Jokowi mengatakan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi juga sedang dalam proses pembahasan.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.