TEMPO Interaktif, Jayapura: Sekitar 1,2 juta orang asli Papua terancam kehidupannya menyusul makin maraknya pengalihan fungsi hutan di Papua menjadi perkebunan kelapa sawit ataupun perkebunan yang lainnya.
Menurut Sekretaris Eksekutif Forum Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat Papua, Sefter Manufandu, hutan bagi masyarakat asli Papua merupakan gudang makanan. Sebab di dalamnya terdapat sumber obat-batan, makanan, dan berbagai sumber kehidupan sehari-hari bagi kelangsungan hidup generasi ke generasi.
Pembukaan hutan untuk lahan perkebunan kelapa sawit di Arso, Kabupaten Keerom, misalnya, tidak mampu mensejahterahkan masyarakat. Padahal, perkebunan itu telah ada sejak 21 tahun yang lalu di atas lahan 50 ribu hektare. Salah satu penyebabnya adalah ongkos angkut dari lahan petani ke pabrik perusahaan. “Satu kali angkut hasil kebun kelapa sawit ke pabrik pengolahannya sekitar 1,4 hingga 1,5 juta rupiah,” katanya, Sabtu (27/2).
Perkebunan kelapa sawit yang diharapkan memberi peningkatan pendapatan petani, ternyata semakin menyusahkan mereka. Pendapatan petani sawit jika mengerjakan sendiri Rp 500 ribu per bulannya, jika dikontrakkan kepada orang lain hanya Rp 300 ribu per bulannya. “Sehingga banyak petani yang mengontrakkan lahan sawitnya, karena pendapatannya tidak sebanding dengan ongkos angkut hasil panen,” jelasnya.
Selain itu, di bagian selatan Papua, tepatnya di Kabupaten Merauke, ada 31 investor kelapa sawit, misalnya saja PT Bio Inti Agrindo dan PT Papua Agro Lestari, masing-masing memiliki sekitar 39 ribu hektare perkebunan kelapa sawit di Distrik Muting dan Distrik Ulilin. Sementara PT Dongin Prabhawa juga memiliki 39 ribu hektar lahan di Distrik Okaba. “Mereka telah mengantongi izin dari gubernur Papua untuk mengurus izin pembukaan hutan dari Departemen Kehutanan pada tahun lalu,” ungkapnya.
Sementara pada Agustus 2008, grup Binladin dari Arab Saudi menyanggupi investasi senilai Rp 39 triliun untuk membiayai Merauke Integrated Food and Energy Forum. “Sebagian besar investasi itupun untuk kelapa sawit,” terangnya.
Namun dari hasil riset Forum Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat dengan masyarakat adat di Merauke, masyarakat khususnya warga Auwyu di Distrik Anim Ha tidak setuju dengan pembukaan lahan ini. “Ada indikasi terjadi konspirasi antara pemerintah dengan perusahaan sawit yang ingin berinvestasi di tanah adat mereka,” terangnya.
CUNDING LEVI