TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang atau RUU Pemasyarakatan menjadi Undang-undang, kemarin. Dalam draf final RUU tersebut ditegaskan bahwa setiap narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali berhak atas remisi hingga pembebasan bersyarat. Tidak ada pengecualian bagi koruptor sekalipun.
"Narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali juga berhak atas: a. remisi; b. asimilasi; c. cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga; d. cuti bersyarat; e. cuti menjelang bebas; f. pembebasan bersyarat; dan g. hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang –undangan," demikian bunyi Pasal 10 RUU Pemasyarakatan.
RUU Pemasyarakatan sebelumnya batal disahkan pada 2019, karena masifnya penolakan dari masyarakat. Sebab, RUU Pemasyarakatan meniadakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Aturan itu salah satunya berisi tentang pengetatan remisi koruptor.
Dalam PP tersebut, khususnya Pasal 34A ayat (1), menyebutkan bahwa syarat untuk terpidana korupsi mendapatkan remisi harus memenuhi dua hal, yakni bersedia menjadi justice collaborator dan membayar lunas denda serta uang pengganti.
Namun Mahkamah Agung membatalkan aturan tentang remisi koruptor tersebut karena dianggap tidak sejalan dengan model pemidanaan restorative justice. Regulasi itu dipandang diskriminatif karena membedakan perlakuan kepada para terpidana dan mengakibatkan situasi overcrowded di lembaga pemasyarakatan.
"Dulu kan yang dipermasalahkan itu, tapi sekarang MA kan sudah membatalkan PP 99/2012, jadi sudah tidak ada permasalahan lagi dan bisa disahkan," ujar Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani, Rabu, 6 Juli 2022.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, DPR semestinya tetap memasukkan aturan pengetatan remisi koruptor dalam RUU Pemasyarakatan meski PP 99/2012 sudah dibatalkan MA.
“RUU Pemasyarakatan bisa kita kuatkan dan abaikan pertimbangan hukum dari MA yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,” kata Dosen Hukum di Sekolah Tinggi Hukum Jentera itu, Oktober 2021.
Namun dalam RUU Pemasyarakatan yang disahkan kemarin, tidak ada aturan mengenai pengetatan aturan tentang remisi koruptor. Korupsi dipandang sama dengan kejahatan umum lainnya.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menyebut, status semua warga binaan sama tanpa ada perbedaan terhadap kasus korupsi dan lainnya.
"Kalau kita bicara doktrin, narapidana kalau sudah sampai pembinaan di dalam lapas, maka sudah tidak boleh ada lagi perbedaan. Karena sekali lagi lapas harus memiliki fungsi restoratif dan rehabilitasi, maka harus direhabilitasi dan dalam konteks due process of law. Maka apabila itu menjadi haknya harus diberikan," kata Edward di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu lalu.
DEWI NURITA