TEMPO.CO, Jakarta - Ancaman pidana hukuman mati masih tercantum dalam final Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang diserahkan pemerintah kepada DPR, kemarin.
Pidana mati dalam RKUHP diatur dalam Pasal 67, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101, serta Pasal 102.
Dalam Pasal 67 diatur, pidana yang bersifat khusus merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif.
"Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat," demikian Pasal 98 RKUHP.
Ketentuan teknis pelaksanaan hukuman mati tertuang dalam Pasal 99. Kemudian Pasal 100 mengatur terkait hukuman mati dengan masa percobaan 10 tahun.
"Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung," demikian Pasal 100 ayat (4).
Pasal-pasal tersebut sebelumnya dikritik koalisi masyarakat sipil. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai pasal hukuman mati harus dihapuskan karena bertentangan dengan hak asasi manusia. ICJR menyebut dua pertiga negara di dunia juga telah menghapuskan hukuman mati.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengungkapkan dampak akibat negara menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap seseorang.
“Negara melakukan penyiksaan,” kata Erasmus dalam diskusi Prospek Penghapusan Hukuman Mati di Indonesia via akun Youtube Amnesty Internastional Indonesia pada Selasa, 21 April 2020.
Erasmus menjelaskan terpidana hukuman mati yang meninggal di dalam sel lebih banyak daripada yang dieksekusi mati. Mereka kebanyakan mati karena stres.
Riset ICJR dan Komnas HAM menunjukkan bahwa hari pertama seseorang divonis mati menimbulkan masalah mental yang sangat berat. Belum lagi kondisi mental terpidana terganggu akibat kondisi lembaga pemasyarakatan (lapas) yang parah.
DEWI NURITA