TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum Rasamala Aritonang mengkhawatirkan rencana pengesahan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akan melahirkan otoritarianisme. Menurut dia, bentuk kepatuhan buta pada otoritas itu bisa timbul karena ada sejumlah pasal yang mengekang masyarakat untuk menyampaikan kritik dan berpendapat.
“Jangan sampai kita bergerak dari kolonialisme menuju otoritarianisme,” kata Rasamala dalam diskusi Indonesia Memanggil 57 Institute, Sabtu, 2 Juli 2022.
Rasamala paham rencana pemerintah dan DPR mengubah KUHP bertujuan untuk menghilangkan watak kolonial dari aturan yang sudah ada sejak jaman Hindia Belanda tersebut. Maka itu, salah satu tujuan mengesahkan RKUHP adalah menghilangkan watak aturan kolonial atau dekolonialisasi.
Namun, mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini berpendapat sejumlah aturan dalam RKUHP justru tidak selaras dengan tujuan tersebut. Dia khawatir RKUHP hanya mengganti watak kolonial dengan aturan yang bersifat otoritarian.
Manajer Litigasi IM57 Institute itu menyebutkan soal pasal penghinaan presiden, lembaga negara dan pemerintah. Begitupun pasal-pasal pidana terhadap mereka yang melakukan demonstrasi.
Rasamala mengatakan keberadaan pasal-pasal tersebut membuatnya bertanya bagaimana pemerintah memandang sebuah negara. Dia menyatakan ada dua cara pandang untuk menjawab apa itu negara. Pertama, negara sebagai simbol sakral. Kedua, negara sebagai lembaga pelayanan publik.
Menurut dia, banyak pemerintah dan masyarakat yang sudah meninggalkan pandangan negara sebagai simbol sakral. Pandangan yang lebih modern dan banyak dianut saat ini adalah negara sebagai lembaga pelayanan publik.
Negara sebagai lembaga pelayan masyarakat, kata dia, akan memberikan ruang yang luas kepada masyarakat untuk menyampaikan kritik. Dia mengatakan bila pemerintah dan DPR berpandangan sebagai pelayan publik, lebih baik pasal-pasal yang mengekang kebebasan masyarakat itu dihapus.
“Kita punya kepentingan yang sama untuk memajukan kehidupan bernegara, untuk itu kita harus membuat negara yang melayani dan membantu kita untuk memajukan kepentingan tersebut,” kata Rasamala.
Sebelumnya, pasal penghinaan terhadap presiden, lembaga negara dan pemerintah memang masih masuk ke dalam RKUHP. Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan bahwa konstruksi pasal-pasal ini berbeda dengan yang ada di KUHP saat ini. Sebagai contoh, pasal penghinaan presiden diubah dari delik umum menjadi delik aduan, artinya presiden sendiri yang harus melaporkan penghinaan terhadap dirinya kepada aparat penegak hukum.