Kedua, FSGI mengusulkan agar penentuan kriteria lulus rekrutmen ASN dipermudah dengan pemberian afirmasi penilaian peserta dari unsur lama pengabdian. Justru itu mesti diberikan porsi dalam jumlah persen yang lebih besar.
Heru juga menyoroti soal klasifikasi guru honorer yang berbeda dari gajinya. Guru honorer murni dianggap masih jauh dari sejahtera yang gajinya di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP), sedangkan guru honorer daerah seperti di DKI Jakarta cenderung mendekati sejahtera karena gaji dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar UMP.
“Ketiga, FSGI mengingatkan bahwa berdasarkan Amanat PPRI Nomor 49 Tahun 2018 adalah menyelesaikan peningkatan status kepegawaian tenaga honorer sampai 28 November 2023,” tuturnya.
Pihaknya menganggap sudah sewajarnya fokus dan prioritas pemberian kuota pengangkatan ASN porsi dalam persenannya tersebar diberikan kepada guru honorer. Sebab kegiatan rekrutmen ASN bertujuan memprioritaskan penuntasan pekerjaan rumah pemerintah yang ingin mengangkat dan mensejahterakan guru honorer.
Saran keempat, FSGI mendorong penentuan kuota dalam rekrutmen ASN hendaknya sebanding dengan jumlah guru honorer yang bekerja di satuan pendidikan milik pemerintah saat ini, sekitar 30-32 persen. Pembengkakan jumlah guru yang sulit dikendalikan disebabkan oleh panggilan kebutuhan pekerjaan membangun Sumber Daya Manusia peserta didik yang mumpuni.
“Jumlah honorer yang membengkak itu terjadi atas dasar kebutuhan dinas yang secara hukum tidak ada pihak yang patut dipersalahkan, masuk dalam kategori dimaafkan karena dinas dalam bekerja melayani peserta didik yang sangat membutuhkan ketenagaan guru, semata-mata menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan” katanya.
Selanjutnya: Perlindungan hukum bagi guru honorer