TEMPO.CO, Yogyakarta - Wafatnya cendekiawan muslim Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii Maarif pada Jumat 27 Mei 2022 meninggalkan duka mendalam bagi banyak orang yang pernah mengenalnya.
Tak terkecuali bagi kalangan umat dan rohaniwan kristiani.
"Kami masih ingat, saat gereja kami St Lidwina Bedog Sleman diserang teror, Buya langsung datang, bersepeda menuju gereja," kata Pastor Yohanes Dwi Harsanto, Wakil Uskup Urusan Kategorial Keuskupan Agung Semarang saat melayat ke Masjid Gedhe Kauman, Jumat 27 Mei 2022.
Gereja St Lidwina Bedog Sleman memang berjarak tak terlalu jauh dengan kediaman pribadi Buya di Perumahan Nogotirto Gamping, Sleman. Saat kejadian Buya tengah makan bersama tetangganya di sebuah warung yang hanya berjarak 300 meter dari gereja itu.
Kedatangan Buya saat itu ke gereja untuk menguatkan para jemaat agar tak takut pada teror dalam bentuk apapun.
Buya saat itu juga langsung menggelar konferensi pers dan menyatakan aksi teror pada umat beragama yang sedang beribadah adalah tindakan biadab.
"Jadi sebagai pendamai, Buya terjun langsung, dengan tangan dan kakinya, untuk mengusahakan perdamaian itu," kata dia.
Pantauan Tempo saat itu, Gereja St Lidwina, Sleman, diserang teror persisnya pada Ahad pagi 11 Februari 2018 silam.
Rohaniwan yang memimpin misa saat itu Romo Karl Edmund Prier S.J. asal Jerman dibacok kepala dan lehernya oleh pelaku hingga dilarikan ke rumah sakit. Pelaku juga merusak sejumlah ornamen dalam gereja dan mengancam umat yang beribadah dengan hunusan pedang.
Namun dibalik peristiwa itu, empati Buya bagai berkah tersendiri dan terus membekas.
Apalagi saat itu, pasca kedatangan Buya, sejumlah aktivis Muhammadiyah juga turut datang membantu membersihkan sisa sisa darah dan kerusakan akibat serangan itu. Sebagian aktivis merupakan tetangga Buya.
Kepedulian Buya itu, ujar Yohanes, yang membuat hubungan antar agama pascaperistiwa itu tetap terjaga tenang dan damai.
"Kepada keluarga besar Muhammadiyah dan teman-teman antaragama yang selama ini bekerja sama dengan beliau serta keluarga yang ditinggalkan, kami sampaikan belasungkawa sebesar-besarnya, " kata Yohanes.
Catatan Tempo, sepekan pasca serangan itu, dalam sebuah forum di Yogya, Buya mengungkap kagum dengan sikap Romo Prier dalam kasus teror Gereja Bedog Sleman.
Rohaniwan itu ternyata tidak berusaha lari meninggalkan ibadat yang ia pimpin hingga menjadi korban serangan teror. Romo Prier kala itu mengaku dirinya yang salah karena tidak lari saat hendak diserang.
“Bagi saya, itu sikap luar biasa dari Romo Prier,” ujar Buya.
Buya kagum dengan sikap pengampunan tanpa pandang bulu yang ditunjukkan Romo Prier kepada penyerangnya itu. “Dia sadar dia pamong dan dia tetap melayani umatnya meski nyawa terancam,” tuturnya.
Buya menilai ketika seseorang menyerap ajaran agama dengan baik, yang muncul adalah sikap berani dan pemaaf.
Namun, ketika ajaran agama itu tak dimaknai dengan benar, yang muncul adalah sikap lemah, kebrutalan, kekerasan, dan kekejaman kepada lainnya.
Buya menuturkan, dalam Islam pun mengenal ajaran suci yang disebut rahmatan lil alamin. “Bahwa kehadiran Islam, rahmat Islam, harus dirasakan semua orang, termasuk orang tak beriman,” kata Buya.
Dalam peristiwa serangan Gereja Bedog Sleman itu, Buya tak hanya menguatkan korban penyerangan.
Buya juga sempat menjenguk dan berdialog dengan pelaku penyerangan bernama Suliyono yang sudah dilumpuhkan polisi dan dirawat di RS Bhayangkara Yogya.
PRIBADI WICAKSONO
Baca: Tim Dokter Ungkap Wafatnya Buya Syafii Maarif karena Serangan Jantung Ketiga
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini