TEMPO.CO, Jakarta - Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) memprediksi Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) akan digelar dalam dua putaran. Prediksi tersebut tak lepas dari gambaran peta persaingan ketiga calon kuat - Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Prabowo Subianto - yang akan tampil.
Saiful Mujani dalam pemaparan hasil riset terbaru lembaganya menyatakan bahwa elektabilitas ketiga calon tersebut cukup berimbang. SMRC memprediksi Ganjar Pranowo akan berpasangan dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Anies Baswedan dengan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono sementara Prabowo Subianto dengan Ketua DPR RI Puan Maharani.
"Suara yang berimbang ini akan mengakibatkan pemilihan presiden tidak berlangsung satu putaran, melainkan dua putaran," kata Saiful Mujani, Kamis, 21 April 2022.
Dalam simulasi yang dilakukan SMRC dalam survei terbarunya Maret lalu, pasangan Anies-AHY unggul tipis dengan meraih 29,8 persen. Mereka unggul atas Ganjar Airlangga yang memperoleh 28,5 persen dan Prabowo-Puan yang mendapat suara 27,5 persen.
Di luar itu, masih ada 14,3 persen yang belum menjawab atau tidak tahu. "Secara statistik suara mereka tidak berbeda signifikan," kata Saiful.
Survei SMRC ini dilakukan pada 1.220 responden yang terpilih dengan metode stratified multistage random sampling kepada warga yang punya hak pilih. Margin of error sekitar 3,12 persen dan tingkat kepercayaannya 95 persen. Wawancara tatap muka dilakukan pada 13 sampai 20 Maret 2022.
Saiful pun menilai sangat besar kemungkinan munculnya tiga pasang calon dalam Pilpres 2024. Menurut mereka, saat ini terdapat tiga poros partai yang bisa menentukan siapa calon yang bisa mereka usung.
Poros pertama adalah PDI Perjuangan. "Partai ini bisa mengambil siapa saja, kemungkinan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) agar suasana Islam bisa terbentuk," kata dia.
Poros kedua adalah Gerindra. Suara partai ini tidak cukup untuk mengusung pasangan sendiri, sehingga mereka membutuhkan setidaknya satu partai lain. Jika Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) bergabung, kata Saiful, itu cukup untuk mengajukan pasangan, misalnya Prabowo Subianto dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.
Poros ketiga adalah Golkar. Menurut Saiful, Golkar bisa terbuka untuk Nasdem, Demokrat, atau PKS.
Adapun ketiga poros ini muncul sebagai hasil dari enam faktor. Faktor pertama yaitu ideologi partai, di mana tidak semua partai mudah berkoalisi di tingkat nasional. Contohnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang lebih Islamis dengan PDI Perjuangan yang lebih nasionalis.
Faktor kedua yaitu komunikasi elit. Koalisi juga sulit terjadi antara beberapa partai karena masalah komunikasi elit. Contohnya antar PDI Perjuangan dan Demokrat. Lalu, NasDem dan Gerindra.
"Mereka (NasDem dan Gerindra) punya pengalaman tersendiri tentang itu. Belakangan, NasDem dan PDIP juga tidak mudah berkomunikasi," kata Saiful.
Faktor ketiga yaitu adanya tiga partai besar yang sangat berpengaruh untuk menarik poros koalisi. Mulai dari yaitu PDI Perjuangan yang bisa mencalonkan presiden tanpa koalisi, kemudian Gerindra dan Golkar yang masih membutuhkan tambahan sedikit tambahan suara.
Faktor keempat yaitu intensitas menjadi calon presiden. Saiful menyebut ada partai yang pimpinannya harus jadi calon presiden, seperti Gerindra dengan Prabowo. Tapi ada juga partai yang belum terlalu yakin harus dukungan seperti Golkar dengan Airlangga dan PDI Perjuangan dengan Puan.
Faktor kelima yaitu elektabilitas bakal calon. Dalam dua tahun terakhir, kata dia, belum ada perubahan signifikan dalam komposisi dukungan pemilih terhadap calon. Tiga besar yang mendapatkan dukungan terbanyak dari publik adalah Prabowo, Ganjar, dan Anies.
Prabowo dan Ganjar sudah seimbang. Sementara dalam setahun terakhir, Maret 2021 sampai Maret 2022, Ganjar dan Anies mengalami kemajuan. Lalu faktor keenam yaitu ormas Nahdlatul Ulama (NU). “NU juga ikut berpengaruh, setidak-tidaknya untuk calon wakil presiden,” kata dia.
Dalam sejarahnya, kata Saiful, Megawati atau PDI Perjuangan cenderung akan berkoalisi dengan tokoh-tokoh dari NU. Pada Pilpres 2004, Megawati menggandeng Hasyim Muzadi, 2014 Jokowi-Jusuf Kalla, dan 2019 Jokowi-Makruf Amin.
"Ada kecenderungan PDI Perjuangan memilih tokoh NU sebagai calon wakil presiden," kata dia.
Karena itu, pasangan-pasangan di atas masih sangat mungkin berubah. Apalagi para calon seperti Prabowo Subianto, Anies Baswedan maupun Ganjar Pranowo belum secara resmi menyatakan mereka akan maju pada Pilpres 2024.