INFO NASIONAL-Anggota MPR RI Kelompok DPD dapil Bengkulu Ahmad Kanedi mengatakan, syarat Presidential Threshol (PT) sebesar 20 persen dalam sistem Pemilihan Presiden di Indonesia merupakan sesuatu yang membingungkan.
Hal itu karena syarat Presidential Threshol sebesar 20 persen tidak sesuai dengan perintah konstitusi. Pemakaian PT juga ditentang sebagian besar ahli tata negara dan kalangan perguruan tinggi. Bahkan, syarat ambang batas calon presiden juga tidak ditemukan dalam praktek ketatanegaraan, di negara manapun di dunia.
"Saya sudah berkeliling di berbagai kampus, hasilnya tidak ada satupun yang setuju dengan Presidential Threshol yang dipraktikkan dalam sistem pemilihan presiden di Indonesia," kata Ahmad Kanedi.
Pernyataan tersebut disampaikan Kanedi pada Seminar Pustaka Akademik bertema Presidential Threshold Dalam Perspektif Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Seminar diselenggarakan MPR RI bersama Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (UNIB) pada Sabtu, 19 Februari 2022.
Di berbagai kampus yang dikunjungi, Kanedi kerap mendapat pertanyaan, mengapa ketentuan ambang batas pencalonan presiden, itu masih gunakan. Padahal, ketentuan itu jelas-jelas tidak sesuai amanat konstitusi.
Syarat pencalonan presiden, sesuai ketentuan konstitusi adalah warga negara Indonesia, tidak pernah menerima kewarganegaraan negara lain, tidak pernah berkhianat dan tidak melakukan tindak korupsi atau tindak pidana berat lainnya. Selain itu, presiden dan wakilnya, dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
"Ini adalah penyimpangan yang terjadi dalam praktek politik dan harus kita sadari bersama. Meski menyatakan dirinya sebagai negara hukum, nyatanya belum semua aturan main dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengikuti aturan hukum yang ada. Sebagian merupakan hasil dari kesepakatan politik oleh para elit partai politik," kata Kanedi, menambahkan.
Pernyataan serupa disampaikan pakar Hukum Tatanegara UNIB, Ardilafisa. Menurutnya, seluruh perguruan tinggi menolak berlakunya Presidential Threshold. Karena keberadaan Presidential Threshol adalah inkonstitusional.
"Mestinya ambang batas itu digunakan untuk menentukan pemenang, jadi besarnya 50 persen plus satu. Jika dalam pilpres belum ada yang mencapai ambang batas tersebut, maka dilakukan pemilihan kedua. Akan tetapi, bukan menggunakan ambang batas untuk menentukan calon presiden. Silakan semua calon, ikut dalam kontestasi, pemenangnya adalah dia yang dapat 50 persen plus satu," kata Ardilafisa, menambahkan.
Pada kesempatan itu, Ardilafisa juga menyampaikan kekhawatirannya terkait pemilu serentak yang akan digelar pertama pada 2024. menurutnya, rencana tersebut sangat membahayakan. Karena pada akhir periode 2024-2029 semua pejabat negara harus meletakkan jabatannya pada waktu yang bersamaan.
"Apa jadinya jika pada saatnya pemilu gagal dilaksanakan, sementara semua pejabat negara selesai waktu jabatannya. Ini juga harus menjadi pertimbangan. Negara tidak hanya dibahas dari sisi efisiensi saja, sehingga dilakukan pemilu secara serentak," katanya.
Turut hadir pada acara tersebut Wakil Rektor UNIB Bidang Kemahasiswaan Dr. Chandra Irawan, M. Hum, Dekan Fakultas Hukum UNIB Dr. Amancik, M.Hum, serta Koordinator Bidang Perpustakaan MPR RI Yusniar.
Sebagai informasi, dalam rangkaian acara seminar juga dilakukan seremoni penandatanganan perjanjian kerja sama antara perpustakaan MPR RI dan perpustakaan Fakultas Hukum UNIB. (*)