INFO NASIONAL-Pengelolaan air dan hak rakyat atas air seperti diamanatkan konstitusi belum dirasakan seluruh komponen masyarakat di Indonesia. Kondisi ini diperburuk, dengan jumlah masyarakat rentan semakin meningkat sebagai dampak dari bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim. Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA) menilai kebijakan pemerintah dalam pengelolaan air masih buruk dan sarat dengan kepentingan politik.
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), Muhammad Reza Sahib, mengatakan, ide swastanisasi air muncul ketika Bank Dunia memberikan pinjaman sebesar 92 juta dolar ASkepada salah satu perusahaan air minum di Indonesia. Pada 1999, Bank Dunia kembali memberi pinjaman Water Resources Sector Adjustment Loan (WATSAL) atau kepentingan sumber daya air sebesar 300 juta dolar Asd emi perbaikan pengelolaan air di Indonesia.
“Hal ini yang membuat pengelolaan air oleh swasta semakin menguat. Berdasarkan cara pandang baru terhadap air, yaitu air sebagai barang ekonomi, sehingga mendorong terjadinya komersialisasi, komodifikasi dan privatisasi air, “ ujarnya dalam diskusi daring Ngobrol @Tempo bertajuk Refleksi 2 Tahun UU Sumber Daya Air: Kedaulatan Air Mau Dibawa Kemana? akhir Januari lalu.
Tak berhenti sampai di sini, bahkan pada penyusunan UU Sumber Daya Air No. 7 Tahun 2004, beberapa pihak memasukkan konsepsi Bank Dunia, yaitu Integrated Water Resource Management dari sektor hulu ke kawasan hilir, mulai dari kawasan penampung air, ruang terbuka hijau, sanitasi, irigasi, air minum. Konsep ini di atas kertas sangat bagus, bahkan pemerintah daerah mulai merancang desain proyek pembangunan.
Menurut Reza, Fakta di lapangan sejak lima tahun yang lalu KRuHA mencatat ada 119 juta orang kehilangan hak atas air. Saat ini jumlahnya bertambah menjadi 123 juta orang. Hak atas air ini adalah hak konstitusi paling tinggi, yang menyangkut hajat hidup orang banyak. “Liberalisasi air semakin menggila karena sudah merambah ke sektor hulu yaitu berupa kerusakan hutan sebesar 1 juta hektar per tahunnya, “ katanya.
Reza berpandangan, pemahaman Hak Atas Air adalah hak asasi manusia. Artinya air bersifat inclusive, tidak bisa dimonopoli oleh sekelompok orang atau individu. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi, memenuhi, dan memajukan, tersedianya air bagi seluruh rakyatnya sebagaimana amanat konstitusi.
“Air bersih sebagai hak sosial masyarakat, adalah air yang dapat diminum sesuai dengan ketentuan Kemenkes, dan jaminan air mengalir 24 jam tanpa diskriminasi,” ujarnya. Ironisnya, ada perumahan di Sukabumi yang kesulitan mendapatkan pasokan air bersih, padahal hanya berjarak 1,5 kilometer dari perusahaan air minum terkemuka di Indonesia.
Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air juga menyoroti kegagalan pemerintah melahirkan dua Peraturan turunan paska penerbitan UU No.17 Tahun 2019. Yaitu pertama, alokasi air untuk kepentingan sosial dan kedua hak guna sektor bisnis. Selain itu pada Revisi UU Cipta Kerja, tidak terdapat lagi kategori swasta namun diubah menjadi badan usaha. Kategorisasi ini menyamaratakan kedudukan individu, koperasi, yayasan, industri, negara di mata hukum perdata.
“Kami melihat keanehan di sini, pada UU Cipta Kerja, pelanggaran HAM akan diatasi dengan hukum perdata. Jadi memunculkan konflik, sebagai contoh kita seringkali melihat orang miskin tidak memiliki hak penguasaan lahan secara legal, namun korporasi dapat secara bebas memiliki lahan, “ kata Reza. (*)