TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengungkapkan masalah krusial yang dialami Lembaga Biologi Molekuler Eijkman adalah statusnya.
“Masalah Eijkman paling krusial yang selalu belum pernah diselesaikan sejak diaktifkan 1992, hampir 30 tahun yang lalu itu adalah masalah status,” ujar Laksana kepada Tempo, Selasa, 4 Januari 2022.
Laksana menjelaskan, Eijkman sejak awal diaktifkan merupakan proyek di bawah Kementerian Riset dan Teknologi, bukan lembaga resmi. Karena statusnya tersebut, periset yang bertugas di Eijkman tidak bisa diangkat menjadi peneliti dan statusnya seperti tenaga administrasi atau pengelola proyek.
Ketika masih menjabat sebagai Kepala LIPI, Laksana mengaku menerima keluhan dari para periset Eijkman. Mereka meminta agar diangkat menjadi peneliti agar mendapatkan hak-hak finansialnya. Sebab, mereka hanya mendapatkan gaji Rp 6-7 juta per bulan. Sedangkan jika menjadi peneliti, hak finansial yang bisa didapat sebesar Rp 20 juta. “Gimana dia bisa fokus riset kalau begitu,” ujarnya.
Setelah dilantik menjadi Kepala BRIN pada 4 Mei 2021, Laksana mengatakan bahwa Eijkman adalah tempat yang ia datangi pertama kali. Dalam kunjungannya itu, ia menyampaikan akan menjadikan status Eijkman sebagai lembaga.
“Jadi bersamaan dengan formalitas integrasi eks Kemristek, BPPT, BATAN, LAPAN, LIPI tangga 1 September itu, Eijkman sekaligus saya lembagakan jadi Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman sampai sekarang,” kata dia.
Karena sudah menjadi lembaga resmi, Laksana menilai lebih leluasa mengangkat perisetnya menjadi peneliti agar mendapatkan hak finansial yang selama ini tidak pernah diperoleh.
FRISKI RIANA