TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah anak muda yang tergabung dalam Koalisi Climate Education Now menggulirkan petisi yang menuntut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk mengintegrasikan pendidikan iklim ke dalam kurikulum pendidikan Indonesia.
"Kami yakin, pendidikan iklim adalah cara untuk membangun masa depan yang berkelanjutan melalui generasi muda, menginspirasi mereka untuk bertindak dan mempraktikkan keterampilan yang diperlukan untuk proses adaptasi terhadap kondisi kehidupan dan pekerjaan ramah lingkungan di masa depan," demikian bunyi penggalan petisi dari 23 kelompok inisiator #ClimateEducationNow. Sampai berita ini ditulis, petisi telah diteken lebih dari 8.500 orang.
Baca Juga:
Koalisi Climate Education Now menilai anak muda sebagai generasi penerus yang akan mengalami dampak krisis iklim yang semakin buruk ke depan, harus memahami dampak krisis iklim sekaligus mengetahui bagaimana cara mengatasinya.
Melalui kurikulum pendidikan iklim, koalisi menuntut lima kepada Kemendikbudristek, yakni; pertama, mengintegrasikan pendidikan iklim ke dalam nilai-nilai inti dari setiap kurikulum dan mengharuskan siswa harus belajar tentang aspek ilmiah, sosial dan etika dari krisis iklim.
Kedua, menyediakan pendidikan iklim yang inklusif untuk semua orang dengan mempertimbangkan keterlibatan gender, intergenerasi, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan lainnya. Ketiga, mendukung kesehatan mental peserta didik dan tenaga kependidikan dalam mengatasi kecemasan iklim dengan menyediakan fasilitas.
Keempat, melatih guru dan menyediakan materi dan praktik belajar pendidikan iklim. "Terakhir, membantu mewujudkan dan mendukung aksi penurunan emisi karbon di lingkungan penyelenggaraan pendidikan paling lambat tahun 2030," ujar Perwakilan Koalisi Climate Education, Now Ghifari Mirano membacakan tuntutan tersebut dalam sebuah diskusi daring, Rabu, 17 November 2021.
Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek, Anindito Aditomo mengapresiasi lima tuntutan tersebut. "Ini luar biasa tuntutannya. Suara-suara anak muda ini sangat membantu kami untuk bisa menggegolkan kebijakan-kebijakan yang bersifat progresif," ujar Anindito, kemarin.
Menurutnya, perubahan iklim menjadi salah satu isu terbesar yang menjadi perhatian pemerintah saat ini. Kondisi tersebut menuntut perubahan nilai dan perilaku secara kolektif. Dan dalam hal tersebut, pendidikan iklim menjadi kunci penting. Oleh karenanya, lima poin tuntutan Koalisi Climate Education Now dinilai sangat relevan.
"Kabar baiknya, sebagian besar (tuntutan) itu sudah terpikirkan dan sudah mulai direspon. Kabar buruknya, semua itu perlu waktu untuk diimplementasikan. Masalahnya, waktu adalah komoditas yang mewah sekali sekarang ini, terutama terkait dengan perubahan iklim," ujar dia.
Anindito menjelaskan, sejauh ini Kemendikbudristek telah mulai mengintegrasikan pendidikan iklim di dalam kurikulum melalui level paling dasar, yaitu profil pelajar Pancasila. Dari enam poin, ada tiga poin profil pelajar Pancasila yang berhubungan dengan pendidikan iklim, yakni nilai iman, taqwa, dan akhlak mulia; nilai gotong royong; dan bernalar kritis.
"Misalnya karakter akhlak. Ini bisa menjadi cantolan dalam kurikulum untuk mendidik siswa dalam upaya merawat alam," tuturnya.
Secara konkret, lanjut Anindito, pendidikan iklim bisa dimasukkan dalam berbagai mata pelajaran seperti Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Bahasa Indonesia. "Misalnya di jenjang SD, buku teks IPA harus memuat tema perubahan iklim, misalnya bab tentang energi dan ancaman kenaikan suhu global. Di buku Bahasa Indonesia, dimasukkan tema bacaan-bacaan tentang iklim. Jadi isu iklim ini seharusnya bisa dibahas lintas mata pelajaran," tuturnya.
Di samping hal tersebut di atas, lanjut Anindito, perubahan iklim juga akan diintegrasikan dalam kurikulum baru yang tengah dirancang Kemendikbudristek.
"Kurikulum baru ini sedang kami uji coba sekarang. Jadi ada 20 sampai 30 persen porsi waktu yang didedikasikan untuk project based learning berorientasi masalah perubahan iklim," kata Anindito.
Lewat pembelajaran berorientasi proyek, siswa diminta untuk bekerja kelompok mencari solusi atas masalah nyata di lingkungan sekitarnya sesuai jenjang pendidikan. "Jadi ada project panjang selama satu semester. Siswa bukan cuman baca buku, tapi mengalami sendiri mengenai isu lingkungan tersebut. Ini tantangannya pada pengembangan nalar siswa nanti," tutur Anindito.
Ke depan, Kemendikbudristek akan mengukur sejauh mana proses pembelajaran di sekolah bisa membangun kesadaran dan mendorong aksi nyata terkait isu lingkungan lewat asesemen nasional.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim menyebut selama ini sistem pendidikan di Indonesia masih belum berhasil membangun kesadaran masyarakat terkait pentingnya perubahan iklim dan lingkungan hidup.
Menurut Nadiem, sistem pendidikan saat ini masih berfokus pada metode menghapal. "Sistem pendidikan kita belum berhasil membangun kesadaran siswa dan orang tua bahwa edukasi lingkungan hidup adalah cara kita untuk menyelamatkan generasi penerus," tutur Nadiem.
Menurutnya, Indonesia masih tertinggal jauh dengan berbagai negara maju terkait edukasi perubahan iklim. Padahal, dampak perubahan iklim sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk itu, Nadiem menilai penting melakukan transformasi sistem pendidikan di Indonesia dengan memasukkan edukasi lingkungan hidup dalam proses pembelajaran. "Transformasi ini memungkinkan murid belajar dari hal-hal yang relevan dengan kebutuhan dunia nyata, termasuk kebutuhan akan edukasi perubahan iklim," ujar dia.
Salah satu rencana Kemendikbudristek mewujudkan pembelajaran berbasis proyek yang berorientasi terhadap isu lingkungan diharapkan bisa menguatkan edukasi terhadap perubahan iklim. Menurutnya, tak perlu banyak membahas konsep dan berdiskusi mengenai perubahan iklim, melainkan butuh aksi nyata. Sebab, situasi perubahan iklim juga sudah semakin nyata terjadi. "Kurikulum menjadi aspek utama yang kami evaluasi," tutur Nadiem.