TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak memberikan tujuh poin masukan dalam revisi UU Kejaksaan atau Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang sedang dibahas di Komisi III DPR.
"Kami lihat substansi masukan dari Komisi Kejaksaan terakomodasi. Ada tujuh poin masukan kami dalam revisi UU Kejaksaan," ujar Barita dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR, Rabu, 17 November 2021.
Pertama, kata dia, Jaksa Agung berasal dari jaksa sehingga perlu ada penambahan syarat menjadi Jaksa Agung, yaitu lulus pelatihan pembentukan jaksa. Ia menilai Jaksa Agung harus memiliki kompetensi manajerial yang telah teruji dari kalangan internal sehingga memiliki pemahaman terhadap kultur, karakteristik, organisasi, dan tata kerja serta peraturan di kejaksaan.
"Dalam pergaulan internasional, Pasal 53 ayat (1) Statuta Roma menyatakan bahwa penyidik perkara pelanggaran HAM berat adalah jaksa. Oleh karena itu, apabila kewenangan tersebut dilakukan bukan seorang jaksa, pengadilan berpotensi menolak kasus tersebut," tutur Barita.
Rekomendasi kedua, pencantuman asas dominus litis atau pengendali penanganan perkara pidana sangat penting dalam RUU Kejaksaan sebagai penyandang penguatan institusi yang merupakan suatu kebutuhan hukum dan akan menjawab dua persoalan pokok.
Menurut dia, dua persoalan pokok tersebut adalah menghindari bolak-balik dan hilangnya berkas perkara dalam tahap penyidikan yang akan menimbulkan tidak selesainya penanganan perkara. "Kedua, penguatan kejaksaan selaku dominus litis diharapkan dapat mengandung perubahan pendekatan yang semula mengedepankan pembalasan dan pencegahan. Namun, harus mempertimbangkan secara seksama kemanfaatannya," ujar Barita.
Ketiga, pengecualian jaksa dari aparatur sipil negara (ASN). Sebab jaksa memiliki lembaga pengawas khusus pengawasan terhadap profesi jaksa dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan dan Komisi Kejaksaan. Ia menilai profesi jaksa tidak dapat dimasukkan dalam rumpun jabatan fungsional ASN dan pengisian jabatan pimpinan tinggi (JPT) di kejaksaan berbeda dengan ketentuan di UU ASN.
Keempat, lanjut Barita, kewenangan Jaksa Agung beracara di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab Jaksa Agung memiliki kedudukan sebagai Jaksa Pengacara Negara Tertinggi penjaga kewibawaan pemerintah dan negara.
"Menkumham bukan kuasa satu-satunya dari Presiden dalam pengujian UU di MK, sesuai dengan Pasal 51 ayat (2) Peraturan MK Nomor 9 Tahun 2020," ucapnya.
Kelima masukan untuk RUU Kejaksaan ialah kewenangan kejaksaan dalam perampasan aset. Sebab kejaksaan disebut memiliki tanggung jawab dan kewenangan atas seluruh barang bukti yang disita dalam tahap penuntutan untuk kepentingan pembuktian perkara maupun kepentingan eksekusi.
Barita menilai apabila perkara sudah ada di pengadilan, benda tersebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa.
Keenam, kejaksaan sebagai central authority. Dalam hal ini kejaksaan sebagai pengendali penanganan perkara pidana harus diberikan kewenangan untuk melaksanakan tugas dan fungsi central authority seperti ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana.
Rekomendasi terakhir dari Komisi Kejaksaan untuk UU Kejaksaan ialah pengamanan terhadap jaksa dan keluarga. Sebab, kata Barita, negara harus mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa penuntut umum beserta keluarganya dilindungi negara.
Baca juga: Arsul Sani Bilang Revisi UU Kejaksaan Tak Cabut Kewenangan Penuntutan KPK