TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi akan memanggil tiga pejabat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk bersaksi dalam sidang kasus korupsi tanah di Munjul, Pondok Ranggon, Jakarta Timur.
Mereka akan bersaksi dalam sidang dengan terdakwa mantan Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya, Yoory Corneles. “Saksi-saksi sidang dengan terdakwa Yoory,” kata jaksa KPK, Takdir Suhan, Kamis, 28 Oktober 2021.
Ketiga saksi tersebut adalah Kepala Badan Pengelola BUMD DKI Jakarta, Faisal Syafruddin; Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah DKI Jakarta Edi Sumantri; dan Wakil Kepala BPKD DKI Jakarta Lusiana Herawati.
Dalam perkara ini, KPK mendakwa Yoory merugikan negara Rp 152,5 miliar dalam pembelian tanah di Munjul. Perbuatan itu dilakukan bersama sejumlah pihak lain di antaranya, Anja Runtuwene, Tommy Adrian, Rudy Hartono Iskandar dan PT Adonara Propertindo.
Jaksa menyatakan pada November 2018, Yoory menyampaikan kepada Tommy Adrian selaku Direktur PT Adonara Propertindo bahwa PD Sarana Jaya sedang mencari tanah untuk melaksanakan program rumah DP 0 Rupiah. Kriteria tanah di antaranya berlokasi di Jakarta Timur dengan syarat luas 2 hektare, posisi di jalan besar, lebar muka bidang tanah 25 meter dan minimal row jalan sekitar 12 meter.
Pihak Adonara kemudian menemukan tanah di daerah Munjul, Pondok Ranggon, Jakarta Timur milik Kongregasi Suster-Suster Carolus Boromeuas. Kongregasi suster awalnya menolak menjual tanah itu karena menganggap mereka broker. Namun, akhirnya setuju setelah didekati oleh Anja Runtuwene.
KPK menyatakan Perumda Sarana Jaya atas perintah Yoory membayar total Rp 152,5 miliar kepada Anja Runtuwene. KPK menganggap pembayaran Sarana Jaya itu atas pembelian tanah itu tidak mempunyai nilai manfaat karena tidak bisa dipergunakan untuk program DP 0 Rupiah. KPK menyatakan sebenarnya bawahan Yoory sudah beberapa kali melakukan kajian. Hasilnya tanah Munjul tidak layak untuk dijadikan hunian. Namun, Yoory tetap memerintahkan pembelian tersebut.
Selain itu, menurut jaksa, kepemilikan tanah Munjul juga tidak pernah beralih ke PD Sarana Jaya. Sehingga telah merugikan keuangan negara sebanyak Rp 152,5 miliar.