TEMPO.CO, Jakarta - Bulan September menorehkan banyak tragedi kemanusiaan di negeri ini. Tidak bisa dipungkiri tagar September kelam atau black September trending di berbagai platform media sosial. Selain kasus pembunuhan Munir yang tak kunjung usai pengungkapannya, peristiwa Tanjung Priok 37 tahun silam juga menjadi masalah serius yang masih diperjuangkan oleh aktivis HAM (Hak Asasi Manusia) di Indonesia.
Tragedi dan peristiwa kelam yang terjadi pada masa pemerintahan Orede Baru ini menimbulkan banyak jatuh korban jiwa akibat represifitas negara. Pertumpahan darah yang melibatkan massa Islam dan pemerintah Orde Baru ini dipantik oleh penerapan Pancasila sebagai asas tunggal yang sudah gencar digaungkan sejak 1980-an.
Abdul Qadir Djaelani, tokoh masyarakat sekaligus ulama di Tanjung Priok yang dihukum 18 tahun penjara oleh Pemerintah Orde Baru ini mengungkapkan, kejadian ini bermula sejak 8 September 1984 setelah aparat memasuki tempat ibadah tanpa melepas lars-nya. Selain itu, mereka juga mencopot pamflet-pamflet yang dianggap berisi ujaran kebencian terhadap pemerintah.
Kerusuhan mulai terjadi ketika beberapa jemaah musala bertengkar dengan para tentara yang melakukan tindakan represif. Walaupun sempat mereda, situasi tiba-tiba kembali ricuh setelah seorang warga membakar beberapa motor milik tentara.
Terkait hal ini para aparat tersebut menangkap empat orang yang terduga sebagai provokator. Pada 11 September 1984, para jemaah meminta bantuan dari Amir Biki, tokoh masyarakat daerah tersebut. Berdasarkan Kontras, Mereka Bilang di Sini Tidak Ada Tuhan: Suara Korban Tragedi Priok, Amir Biki yang merespon permintaan jemaah tersebut meminta Kodim untuk melepaskan 4 orang yang ditahan tersebut. Namun, hal ini tidak diindahkan oleh pihak aparat dan Amir Biki merasa dipermainkan.
Dengan adanya pemicu tersebut, Amir Biki mencoba untuk mengumpulkan ulama-ulama dan para tokoh agama untuk melakukan protes terhadap kinerja para aparat tersebut. Dalam hal ini Amir Biki juga mengundang berbagai forum umat Islam di Jakarta.
Pagi 12 September 1984, sekitar 1.500 orang bergerak menuju Polres Tanjung Priok dan juga ke Kodim yang jaraknya 200 meter dari Polres. Massa yang sedang berjalan ke tempat tersebut disambut dengan butiran-butiran peluru yang keluar dari senapan otomatisnya.
Hal tersebut banyak membuat massa bergelimpungan, berlari ke sana kemari. Selain itu dalam aksi ini juga memakan korban jiwa dan ratusan orang yang terluka. Berdasarkan temuan Komnas HAM, yang dimuat dalam kontras.org, setidaknya 79 orang dalam peritsiwa tersebut menjadi korban, 55 orang mengalami luka-luka dan 23 orang lainnya dinyatakan meninggal dunia, sementara puluhan orang ditangkap dan ditahan tanpa melalui proses hukum yang jelas serta beberapa orang lain dinyatakan hilang.
GERIN RIO PRANATA