TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah ahli hukum dari Themis Indonesia Law Firm & Dewi Keadilan, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang tes wawasan kebangsaan (TWK), tidak bisa menjadi pembenaran pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tindakan inkonstitusional di kasus tersebut.
Dalam analisanya, para ahli hukum menilai Mahkamah menganggap sah norma yang mengatur TWK. Namun Mahkamah tidak memutus apapun terkait prosedur yang cacat dalam pelaksanaan TWK oleh KPK, Badan Kepegawaian Negara, atau pihak-pihak lain terlibat menyimpangkan kewenangan dalam pelaksanaan TWK.
"Sehingga putusan MK sama sekali tidak mengenyampingkan temuan Ombudsman RI dan Komnas HAM," kata para peneliti Themis dalam keterangan tertulis mereka, Selasa, 7 September 2021.
Karena itu, para peneliti Themis menilai kewenangan yang konstitusional tidak menjadi pembenar atas implementasi dari kewenangan tersebut yang dilakukan secara cacat prosedural dan melanggar HAM. Karena itu, mereka menegaskan Konstitusionalisme norma tidak dapat melegitimasi tindakan inkonstitusionalisme saat norma tersebut dilaksanakan.
Mereka menyebut KPK dan BKN tidak bisa berlindung di balik putusan MK. Sebab lembaga-lembaga yang memiliki otoritas telah memiliki penilaian bahwa dalam praktik penyelenggaraan TWK dalam rangka alih status pegawai KPK secara sah dan meyakinkan telah menemukan fakta adanya penyalahgunaan wewenang, cacat administrasi dan terbukti adanya pelanggaran HAM.
"Meskipun TWK konstitusional namun tidak dapat proses pelaksanaanya tidak menjunjung nilai-nilai konstitusi (UUD 1945) terkait perlindungan hak asasi manusia dan ketentuan undang-undang lainnya, termasuk UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan," kata para peneliti.
Para ahli hukum yang terdiri dari Feri Amsari, Bivitri Susanti, Usman Hamid, Titi Anggraini, Nanang Farid Syam, Fadli Ramadhanil, dan Ibnu Syamsu, mengatakan temuan Ombudsman dan Komnas HAM terkait adanya penyalahgunaan wewenang dan cacat administrasi dalam pelaksanaan TWK adalah fakta.
"Meskipun TWK adalah kewenangan KPK namun dalam hukum administrasi negara jika kewenangan tersebut dilakukan dengan prosedur yang salah maka hasilnya harus dianggap batal demi hukum," kata mereka.
Karena itu, mereka pun mendorong Pimpinan KPK mengakui kealpaan dalam proses penyelenggaraan TWK. Mereka juga diimbau untuk mematuhi UUD 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Pimpinan KPK juga diminta melaksanakan TWK ulang yang transparan dan/atau melakukan proses alih status, sebagaimana pernah diberlakukan terhadap anggota TNI dan kepolisian tanpa perlu melakukan TWK. Hal ini bisa dilakukan dengan meminta Presiden Joko Widodo menyelesaikan berdasarkan ketentuan PP Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS yang membuat Presiden berwenang melantik langsung pegawai KPK menjadi PNS.
"Meminta Pimpinan KPK mematuhi temuan cacat prosedural dari Ombudsman RI dan pelanggaran HAM terkait TWK dengan membatalkan hasil tes tersebut," kata para ahli hukum.
Baca: Soal TWK, Politikus PPP Siap Bantu Pertemuan Komnas dan Ombudsman dengan Istana