TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai kekerasan berulang yang terjadi di Papua, terjadi akibat dari kebijakan pemerintah yang selalu menggunakan pendekatan keamanan. Yang terakhir, dua anggota TNI AU terhadap warga di Merauke, Papua, pada Selasa, 27 Juli 2021 lalu.
"Rentetan kekerasan yang terjadi di Papua, membuktikan pengerahan aparat keamanan dan menggunakan cara-cara kekerasan tidak menjawab akar persoalan. Negara harusnya membaca situasi di papua dengan melihat substansi masalah," ujar Koordinator Kepala Divisi Hukum KontraS Andi Rezaldy, saat dihubungi Tempo, Kamis, 29 Juli 2021.
Dari sisi kebijakan, tidak ada akuntabilitas serta transparansi dalam pengerahan keamanan, khususnya prajurit TNI. Padahal merujuk pada UU nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, pengerahan kekuatan harus berdasarkan Keputusan Presiden.
"Tetapi, Presiden tidak pernah mengumumkan dan tidak ada satupun dokumen yang dapat diakses oleh publik," kata Andi.
Andi mengatakan KontraS pernah meminta keterbukaan informasi pengerahan kekuatan kepada TNI dan Polri. Namun, hingga saat ini belum ada jawaban pasti yang mereka dapatkan.
Dari data KontraS, setidaknya dalam periode Januari-Juni 2021 saja telah ada 16 peristiwa kekerasan. Dari rentetan kejadian itu, terdapat korban luka sebanyak 17 orang, ditangkap 73 orang, tewas 10 orang dan lainnya 1 orang.
Aktivis menjadi korban terbanyak dengan total 25 orang. Diikuti dengan warga sipil non-job 15 orang, dan mahasiswa 5 orang. Bentuk kekerasannya beragam, mulai dari pembubaran paksa, penyiksaan, tindakan tidak manusiawi, hingga penembakan. "Data ini menunjukkan bahwa peristiwa kekerasan atau pelanggaran hak asasi manusia di Papua telah terjadi secara sistemik dan meluas," kata Andi.
Baca juga: Veronica Koman Desak Anggota TNI AU yang Injak Kepala Warga Papua Diseret ke Pengadilan Sipil