TEMPO.CO, Jakarta - Setara Institute menyebut peristiwa bom di Gereja Katedral Makassar sebagai sinyal bagi pemerintah agar tidak kendor melaksanakan protokol penanganan ekstremisme-kekerasan.
"Di tengah konsentrasi tinggi pemerintah dalam penanganan dampak pandemi, perhatian pada penanganan ekstremisme-kekerasan tetap tidak boleh berkurang," kata peneliti Setara Institute, Halili, dalam keterangannya, Ahad, 28 Maret 2021.
Halili mengatakan, ekstremisme-kekerasan yang didorong oleh stimulus ideologis tidak akan surut hanya karena pandemi, dan tidak juga karena semakin baiknya perangkat instrumental (peraturan) dan institusional (kelembagaan) penanganan ekstremisme-kekerasan oleh negara.
Pemerintah, kata Halili, harus melakukan tindakan komprehensif dan terukur untuk memitigasi dan melakukan penegakan hukum yang presisi untuk menjamin keselamatan seluruh warga.
Dalam rangka mitigasi dan pencegahan, belum lama ini Presiden telah menandatangani Peraturan Presiden No 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN-PE).
"Akselerasi penerapan Perpres tersebut secara komprehensif dan terukur mendesak untuk dilakukan dalam rangka mencegah berulangnya peristiwa seperti yang terjadi di Makassar hari ini," ujarnya.
Setara Institute juga mendesak pemerintah daerah dan elemen masyarakat sipil di daerah untuk berkontribusi signifikan bagi pencegahan ekstremisme-kekerasan dengan memupus lingkungan pemicu (enabling environment) ekstremisme, serta membangun lingkungan yang toleran dan inklusif.
Bom di Gereja Katedral di Jalan Kajaolalido, MH Thamrin, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, terjadi pada Ahad pagi 28 Maret 2021. Akibat ledakan tersebut, 14 orang dari pihak security dan jemaah gereja mengalami luka-luka. Mereka kini sedang menjalani perawatan di sejumlah rumah sakit.
FRISKI RIANA