Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menyebut dalam catatannya upaya dalam melakukan perubahan terhadap RUU KUHP telah berlangsung selama 60 tahun. Namun hal itu belum juga berhasil.
Ia menilai salah satu hambatannya ialah karena membuat sebuah hukum, yang sifatnya kodifikasi dan unifikatif tidak mudah di dalam masyarakat Indonesia yang begitu plural. "Jadi kita harus melakukan agregasi untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan atau resultante,” ujar Mahfud.
KUHP telah digunakan sejak jaman Kolonial Belanda. Untuk itu, kata Mahfud, resultante baru menjadi penting. Ia menegaskan bahwa hukum berubah sesuai dengan perubahan masyarakat (ubi societas ibi ius), sehingga sudah saatnya UU hukum pidana yang sudah berumur lebih dari 100 tahun ini diubah.
“Ketika terjadi proklamasi, berarti terjadi perubahan masyarakat kolonial menjadi masyarakat merdeka. Masyarakat jajahan menjadi masyarakat yang tidak terjajah lagi. Nah, makanya hukumnya harus berubah seharusnya,” ujar Mahfud MD.
Salah satu pasal dalam RUU KUHP yang dianggap masyarakat sipil masih kontroversial adalah pasal penghinaan presiden. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menuntut pasal penghinaan presiden dengan bentuk apapun dihapuskan.
“RKUHP masih memuat aturan-aturan yang dapat membawa Indonesia kembali pada masa kolonialisme atau bahkan lebih buruk dari masa kolonialisme,” kata Direktur Eksekutif ICJR, Anggara dalam keterangan tertulis Kamis, 29 Agustus 2019.
Menurut Anggara pasal dalam RUU KUHP itu tidak sesuai dengan negara demokrasi. KUHP warisan Belanda dulu merumuskan pasal ini untuk melindungi martabat ratu. Sedangkan presiden, kata dia, dipilih oleh rakyat dan harus bisa menerima kritik.
DEWI NURITA