TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto menilai keberadaan polisi siber dan polisi virtual (virtual police) menciptakan persepsi ancaman.
“Sejauh ini, alih-alih mendorong kebebasan berekspresi, polisi siber dan polisi virtual justru menciptakan persepsi ancaman,” kata Wijayanto dalam diskusi, Kamis, 4 Maret 2021.
Wijayanto menerangkan, dalam temuannya, akun polisi siber di media sosial sudah ada sejak 2016 dengan nama akun @CCICPolri. Konten di akun media sosial tersebut juga memiliki narasi mengajak warganet menjaga stabilitas dan kesejukan.
Namun, ia juga menemukan adanya cuitan polisi siber yang menciptakan persepsi ancaman. Misalnya, dalam cuitan pada 18 Desember 2020, akun @CCICPOlri menuliskan: Cepat atau lambat, jejak pidanamu di dunia siber, akan menerima hukuman yang setimpal #IndonesiaNegaraHukum.
Cuitan lainnya berbunyi: Yakin dan percayalah, jejak digital pidanamu, cepat atau lambat, dapat mengantar dirimu dan keluargamu pada penyesalan. Bersama kita ciptakan kedamaian di tahun 2021.
“Kita bayangkan membaca seperti ini kira-kira orang menjadi ter-encourage berpendapat atau jadi takut?” tanya Wijayanto.
Wijayanto juga menilai, alih-alih mendorong konsolidasi demokrasi atau sekurang-kurangnya menghentikan demokrasi dari kemunduran, polisi siber dan polisi virtual justru berpeluang memperburuknya.
Di sisi lain, kata Wijayanto, kemunculkan polisi siber dan polisi virtual juga belum memberikan proteksi pada para akivis pro demokrasi yang menjadi korban kejahatan digital. Misalnya, teror terhadap akademisi penolak revisi UU KPK pada akhir 2019 merupakan teror pertama dan paling masif yang pernah terjadi, karena paling banyak korbannya.
Kemudian teror terhadap aktivis Ravio Patra pada April 2020, cyberteror yang dialami mahasiswa UGM saat merencanakan diskusi UU Impeachment Presiden pada Juni 2020. Peretasan akun Instagram Pemimpin Redaksi Koran Tempo ketika mewawancarai aktivis UGM.
Pada 22 Agustus 2020, akun Twitter epidemiolog Pandu Riono juga mengalami peretasan karena kritis terhadap kebijakan penanganan Covid-19, serta peretasan yang dialami media online Tirto.id. Dari semua kasus peretasan, kata Wijayanto, tidak ada satu kasus pun yang ditindaklanjuti polisi untuk mengungkap pelakunya.