BPJS Kesehatan menyatakan tata kelola jaminan kesehatan (jamkes) terus ditingkatkan sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020. “BPJS Kesehatan berkomitmen akan terus meningkatkan tata kelola internal,” ujar Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris dalam webinar beberapa waktu lalu.
Menurut Fachmi, Perpres Nomor 64 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, memiliki pesan khusus untuk peningkatan tata kelola sistem pelayanan. “Yang disorot adalah adalah meningkatkan tata kelola lebih ke arah peningkatan kebutuhan dasar kesehatan dan rawat inap kelas standar, serta peningkatan tata kelola jaminan kesehatan (jamkes),” katanya.
Untuk diketahui, Perpres No 64 memuat tentang penyesuaian iuran untuk 2021, yakni bagi peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) kelas III sebesar Rp 35 ribu, sedangkan subsidi dari pemerintah Rp 7 ribu.
Sejauh ini, BPJS Kesehatan berkontribusi untuk peningkatan kohesivitas sosial sebesar 13,6 persen pada 2015 dan 14 persen pada 2016. Layanan kesehatan ini memberi perlindungan finansial keluarga serta mencegah kemiskinan, dan menghasilkan multiplier-effect terhadap industri rumah sakit, farmasi, dan lainnya. Dalam enam tahun terdapat 1,1 miliar pemanfaatan.
Audit akuntan publik memberi penilaian Wajar Tanpa Pengecualian terhadap kinerja BPJS Kesehatan. Sedangkan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) merekomendasikan untuk meningkatkan tata kelola agar masyakarat pengguna layanan jaminan kesehatan tidak perlu mengantre lama dan tidak dipersulit pengurusannya di rumah sakit.
Berdasarkan data BPJS per 1 Desember 2020, sebanyak 650 rumah sakit telah terintegrasi dengan aplikasi mobile JKN dan ketersediaan layanan antrean elektronik tersedia di 2.071 rumah sakit. Layanan ini untuk memberikan kepastian waktu antrean peserta. Kepastian kamar tidur dan tindakan operasi juga dapat dipantau melalui aplikasi mobile JKN. Layanan ini dikembangkan BPJS sejak awal tahun. Ketersediaan kamar tidur dan perawatan di 2.082 rumah sakit serta tindakan operasi di 883 rumah sakit juga dapat diakses secara online.
Tahun depan, BPJS Kesehatan berencana memperluas fungsi layanan dengan menyediakan informasi detail terkait ketersediaan saran fasilitas kesehatan secara real time. Seperti ruang rawat inap, ruang rawat inap anak, ICU, ruang isolasi dan sebagainya. BPJS Kesehatan sempat menerapkan akses sidik jari untuk memudahkan peserta menjalanai prosedur tindakan cuci darah bagi pasien gagal ginjal kronis.
Namun, untuk meminimalisir penyebaran virus covid-19, realisasi aplikasi ini ditunda. Bagaimanapun, BPJS Kesehatan tetap memberikan kemudahan dalam hal proses rujukan, sehingga pasien pasien tak repot lagi mengulang dalam kepengurusan pembuatan surat rujukan dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).
Fachmi mengatakan rekomendasi BPK menjadi pemicu bagi BPJS Kesehatan untuk meingkatkan tata kelola layanan kesehatan kepada masyarakat. Menurutnya, JKN-KIS merupakan ekosistem yang melibatkan banyak stakeholder, sehingga peningkatan harus dijalankan bersama.
Kementerian Kesehatan menguatkan pernyataan Kepala BPJS Kesehatan tentang kerja bersama mengelola jaminan kesehatan untuk masyarakat. “JKN-KIS itu seperti orkestra. Presiden pemimpinnya. JKN bisa berhasil kalau semua unsur berperan dengan baik,” ujar Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kemenkes, Kalsum Komaryani.
Kemenkes, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Keuangan berperan sebagai regulator bersama. Peran Kemenkes terpusat pada pengawalan terhadap layanan kesehatan.“Kemensos sebagai pendata dan menetapkan peserta PBI. Kemenkes menerima daftar tersebut untuk didaftarkan kepada BPJS sekaligus membayarkan iurannya. Saat ini peserta PBI sebanyak 36,8 juta jiwa,” kata Kalsum.
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) telah memonitor Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dijalankan oleh BPJS Kesehatan sejak 2014. Masyarakat dan media patut memahami data kinerja yang dibuat DJSN, bahwa banyak iuran kepesertaan BPJS Kesehatan justru dibayarkan pemerintah.
Data pada Januari-April 2020, sekitar 96 juta orang mendapatkan manfaat dari Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari APBN dan 35-37 juta lebih terdaftar dalam PBI APBD. Artinya, terdapat 133 juta kepesertaan JKN penerima bantuan dari total 222 juta orang, atau lebih dari 50 persen.“Komposisi kepesertaan JKN sebenarnya banyak yang iurannya dibayarkan pemerintah. jadi pemerintah mengeluarkan anggaran cukup besar,” kata Anggota DJSN Iene Muliati.
Iuran peserta JKN untuk golongan masyarakat miskin yang dibayarkan melalui APBN merupakan kebijakan yang dijalankan di Indonesia. Selain itu disubsidi dari pembayaran iuran BPJS Kesehatan mandiri yang dilakukan masyarakat mampu.
Masyarakat patut memahami skema manajemen risiko yang dipilih pemerintah. “Mengapa di Inggris, Jerman, atau Ukraina, seolah-olah layanan kesehatan gratis, namun di sini tetap bayar? Karena di negara-negara tersebut diambil dari berbagai macam pajak yang dibebankan kepada masyarakat. Kenapa kita tidak mengambil opsi tersebut, karena infrastruktur pajak kita nggak kuat,” kata pakar Jaminan Kesehatan Masyarakat FKM UI, Budi Hidayati. (*)