TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi mempertanyakan penggunaan terminologi kedermawanan dalam putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung untuk terdakwa Fahmi Darmawansyah. Menurut KPK, penggunaan istilah itu justru mengaburkan makna dari sifat kedermawanan.
“Sekalipun putusan hakim haruslah tetap kita hormati, namun di tengah publik yang saat ini sedang bersemangat dalam upaya pembebasan negeri ini dari korupsi, penggunaan terminologi kedermawanan dalam putusan tersebut mengaburkan esensi makna dari sifat kedermawanan itu sendiri,” kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK, Ali Fikri, Rabu, 9 Desember 2020.
Ali mengatakan pemberian hadiah kepada penyelenggara negara atau pegawai negeri karena jabatannya adalah perbuatan tercela. Terlebih si pemberi memiliki kepentingan di balik pemberian itu. Dalam konteks hukum, kata Ali, pemberian itu masuk kategori suap. “Atau setidaknya bagian gratifikasi yang tentu ada ancaman pidana,” kata dia.
Sebelumnya, Mahkamah Agung mengabulkan PK Fahmi Darmawansyah dalam kasus suap kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Wahid Husen. MA menyunat hukuman Fahmi dari 3 tahun 6 bulan penjara, menjadi 1 tahun 6 bulan penjara.
Dalam putusannya, MA menilai Fahmi memberikan sejumlah barang kepada Wahid, salah satunya mobil Mitsubishi Triton seharga Rp 427 juta bukan untuk mendapatkan fasilitas khusus. Melainkan, karena sifat kedermawanan Fahmi. Adapun majelis hakim yang menangani PK ini di antaranya Salman Luthan selaku ketua majelis serta Abdul Latif dan Sofyan Sitompul selaku kahim anggota.