TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo kembali mengingatkan Aparatur Sipil Negara soal netralitas dalam Pilkada 2020. Dalam menangani masalah netralitas ASN, Tjahjo berpandangan hal penting yang harus menjadi perhatian sebenarnya adalah potensi gangguan netralitas yang datang dari individu ASN itu sendiri.
Ia mengatakan ada banyak ASN yang masih gagal paham, salah paradigma, dan memiliki pola pikir (mindset dan cultureset-nya) yang tidak tepat.
"Mereka selalu berdalih posisi ASN itu dilematis, maju kena mundur kena, netral pun kena. Barangkali sebenarnya tidak demikian karena aturannya sudah jelas. Kemudian pemikiran-pemikiran ingin berkarier dengan cara yang mudah, dengan menggunakan perkoncoan, harus berkeringat, harus dekat dengan calon atau bakal calon kepala daerah," kata Tjahjo.
Padahal, menurut dia, sebetulnya yang dibutuhkan bukan ASN yang berkeringat, yang dekat dengan calon atau bakal calon kepala daerah, melainkan ASN yang berpikir. Potensi tersebut juga datang dari perilaku budaya birokrasi masa lalu.
Oleh sebab itu, mau tidak mau, pemerintah perlu tepat mengantisipasi paradigma itu. Dalam hal ini, menurut Tjahjo, yang paling penting adalah membangun kesadaran bahwa ASN punya hak pilih.
Adanya kesadaran hak pilih itu tentu juga dibarengi dengan kesadaran tentang kewajiban ASN yaitu menjaga maruah aparatur negara yang harus ia jaga.
Agar hak dan kewajiban ASN dapat berjalan beriringan, diperlukan komitmen kuat menyalurkan segala ekspresi partisan dan ekspresi politik dalam Pilkada hanya di dalam bilik suara. Sebaliknya, di luar bilik suara, ASN perlu berkomitmen untuk tidak mengekspresikan itu.