TEMPO Interaktif, Yogyakarta: Hingga Juni 2008 tingkat perceraian di Yogyakarta didominasi oleh permintaan cerai dari pihak istri. Hal tersebut tidak lepas dari faktor ekonomi di mana penghasilan suami lebih kecil daripada penghasilan istri.
"Perbandingannya 60:40. Tren ini muncul juga karena faktor pendidikan istri lebih tinggi daripada suami," kata Kepala seksi Pengembangan Keluarga Sakinah BP4 (Badan Penasehatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan) Kantor Wilayah Departemen Agama DI Yogyakarta, di kantornya, Selasa (14/10).
Menurut dia, faktor kesejahteraan menduduki tempat pertama, sedangkan faktor pemicu besar lainnya adalah selingkuh. Kekerasan dalam rumah tangga justru tidak begitu besar menjadi penyebab, namun menjadi akibat dari permasalahan di atas. Faktor lain yang dianggap unik adalah percerian karena suami dan istri berbeda partai politik.
Ia juga mengatakan tingginya angka perceraian yang diajukan istri lebih disebabkan pemahaman soal gender. Mengenai perselisihan yang disebabkan karena perbedaan partai politik, fenomena tersebut tidak hanya terjadi di wilayah Yogyakarta saja, namun juga di seluruh Indonesia.
Data yang ada di BP4 pada Januari hingga Juni 2008 menunjukkan, dari 14.680 pernikahan, kasus perceraian sebanyak 406. Pada 2007 angka perceraian sebanyak 377 kasus.
Dari lima wilayah kabupaten/kota di Yogyakarta, Sleman menempati urutan pertama dengan 158 kasus perceraian, Kulonprogo 88 kasus, Kota Yogyakarta 78 kasus, Gunungkidul 77 kasus, dan Bantul dua kasus.
Adapun untuk pernikahan, Bantul menduduki peringkat pertama, yaitu 4.117, Sleman 3.774, Gunungkidul 3.610, Kulonprogo sebanyak 1.909 dan Yogyakarta sebanyak 1.270.
"Kalau poligami yang terdaftar di Kantor Urusan Agama sebanyak 23. Mereka dari kalangan pengusaha dan pedagang. Sedangkan terbanyak ada di kabupaten Sleman yaitu 12," kata Kusnanto.
Muh Syaifullah