TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan insiden pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dan ekspresi intoleransi kembali marak menjelang setahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin.
"Berbagai pelanggaran KBB dan ekspresi intoleransi menunjukkan peningkatan intensitas," kata Halili dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 29 September 2020.
Halili menyebutkan ada beberapa peristiwa pelanggaran KBB yang menonjol dan menyita perhatian publik dalam sebulan terakhir. Pada 1 September, misalnya, terjadi pelarangan pembangunan fasilitas rumah dinas pendeta di Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) Kecamatan Napagaluh, Kabupaten Aceh Singkil.
Pada 13 September 2020, Halili mengatakan terjadi gangguan sekelompok orang intoleran atas ibadah terhadap jemaat Huria Kristen Batak Protestan KSB di Kabupaten Bekasi.
Pada 20 September, terjadi penolakan ibadah dilakukan sekelompok warga Graha Prima Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor terhadap jemaat dari Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI).
Pada 21 September, terjadi pelarangan ibadah bagi umat Kristen di Desa Ngastemi, Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto.
"Potret tersebut memperkuat fenomena umum terjadinya peningkatan tindakan intoleransi dan pelanggaran di KBB Indonesia," ujar Halili.
Halili pun meminta pemerintah untuk hadir menjamin dan melindungi hak konstitusional minoritas. Sebab, dalam catatan Setara sejak 2007, salah satu persoalan terbesar intoleransi dan pelanggaran KBB terletak pada level negara. Aparat pemerintah cenderung berpihak pada kepentingan pelaku intoleransi dan pelanggaran yang mengatasnamakan mayoritas.
Setara, kata Halili, juga mendesak Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk mengambil kebijakan progresif sesuai otoritas legal dan demokratis yang tersedia, untuk menjamin tata kelola pemerintahan daerah yang inklusif dan toleran dalam kebinekaan.
Sebab, Halili mengungkapkan bahwa periode pertama pemerintahan Jokowi, pemerintah daerah merupakan aktor negara yang paling banyak menjadi pelaku pelanggaran KBB dengan 157 tindakan, baik bentuk tindakan langsung, peraturan intoleran dan diskriminatif, maupun pembiaran. "Pemerintah pusat tidak boleh diam, melainkan harus hadir menangani penjalaran intoleransi yang secara terus-menerus terjadi di daerah," ujarnya.