Dosen Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, tersebut juga mensinyalir adanya pihak-pihak yang sengaja melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan Mega dengan memakai kasus Tommy. "Dampaknya akan sangat panjang dan berujung pada penurunan akunabilitas pemerintahan Mega. Ini merupakan awal dari kerapuhan pemerintahan Mega, atau memang ada pihak-pihak tertentu yang sengaja ingin merapuhkan," ujar Riswanda kepada Tempo News Room, Kamis (4/10).
Menurut Riswanda, pembebasan Tommy itu telah memunculkan fakta baru. Siapa pun menjadi presiden republik ini, niscaya mengalami ujian di bidang hukum dan keamanan. Dalam kasus Tommy, bakal semakin memunculkan ketidakpercayaan publik pada seluruh proses hukum di era reformasi saat ini. Padahal, ketika Tommy mengajukan grasi yang ketika itu ditolak Presiden Abdurrahman Wahid publik beranggapan Tommy telah memberikan pengakuan rasa bersalah dalam kasus Bulog-Goro. "Logika publik juga mengatakan kalau Tommy merasa tidak bersalah, mengapa mesti kabur dan ngumpet sampai saat ini," ujar Riswanda.
Ia memperkirakan, pembebasan Tommy akan memancing gelombang demonstrasi baru setelah aksi-aksi unjuk rasa di Jakarta mereda belakangan ini. Bila terjadi, rentetatan demonstrasi itu makin menguatkan kesan bagi orang asing, terutama kalangan investor, bahwa Indonesia tidak aman. Situasi ini makin menyulitkan pemerintahan Mega dalam pemulihan ekonomi," tegasnya.
Riswandha sepakat dengan pendapat sejumlah pakar, Presiden Megawati harus melakukan klarifikasi terhadap putusan MA yang membebaskan Tommy tersebut. Tindakan tersebut untuk mengantisipasi munculnya gelombang unjuk rasa. "Siapapun jadi presiden, akan dibeginikan terus. Karena itu, kaum reformis harus betul-betul arus berfikir: bukan sekadar merebut bidang politik tapi bidang lain juga harus dibersihkan, terutama bidang hukum karena di sinilah kuncinya," tegasnya. (Heru C. Nugroho)